Warta9.com – Belakangan ini kembali ramai pembahasan di berbagai media tentang Tunjangan Hari Raya (THR) untuk pengemudi transportasi online dan juga ada aksi unjuk rasa di Jakarta yang dimotori oleh SPAI (Serikat Pekerja Angkutan Indonesia) dan diikuti oleh beberapa organisasi lain pada 17 Februari 2025 lalu di Kementrian Tenagakerja RI Jakarta.
Aksi ini direspon oleh wakil Menteri Tenaga Kerja (Wamenaker) Immanuel Ebenezer seperti dikutip dari beberapa media nasional dengan mengatakan bahwa kementerian tenaga kerja akan memaksa aplikator untuk memberikan THR kepada pengemudi transportasi online. Bahkan wamenaker juga menegaskan bahwa Negara sifatnya memaksa agar aplikator memberikan THR kepada para pengemudi OJOL dan transportasi online.
Aturan pemberian THR sudah tercantum dalam Pasal 6 Ayat (6) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptakerja) Nomor 11 Tahun 2020. THR juga diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2016 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2024. Sehingga seluruh pengusaha memang wajib memberikan THR kepada para pekerja dan karyawannya dengan besaran 1 bulan upah untuk pekerja yang sudah bekerja selama minimal 12 bulan. Sedangkan untuk pekerja yang bekerja belum 12 bulan, maka dapat dihitung proporsional sesuai masa kerjanya. Kriteria penerima THR yaitu pekerja/buruh yang mempunyai hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), termasuk pekerja/buruh harian lepas yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan.
Dengan mengacu kepada UU dan peraturan menteri yang ada, maka semua perhitungan pemberian THR mengacu kepada upah bulanan yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerjanya atau buruhnya. Semua hal ini akan menjadi sebuah problematika tersendiri apabila akan dilakukan perhitungan kepada sektor pekerja transportasi online baik Taxol maupun OJOL. Karena konsep hubungan yang ada saat ini adalah Kemitraan sesuai perjanjian elektronik yang ditandatangani para pihak, baik aplikator maupun mitra driver. Konsep hubungan ini juga ditegaskan oleh aplikator Grab dan Gojek sendiri saat proses penyusunan Permenhub 12 Tahun 2019 tentang Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat.
Jika mengacu kepada konsep hubungan kerja yaitu adanya pemberi kerja, penerima kerja dan upah yang dibayarkan, maka pemberi kerja pada skema bisnis transportasi online yang ada saat ini adalah konsumen pengguna yang memberi pekerjaan kepada penyedia jasa yaitu driver Taxol atau OJOL melalui perantara aplikasi online, dan atas jasa yang diberikan tersebut maka konsumen pemberi kerja membayar sejumlah uang melalui perantara aplikasi. Atas penggunaan aplikasi tersebut, pemilik aplikasi memungut biaya jasa aplikasi dengan besaran tertentu yang diatur dalam Permenhub 118 Tahun 2018 untuk Taxol dan Permenhub 12 Tahun 2019 untuk OJOL. Ini adalah fakta yang menegaskan bahwa skema bisnis transportasi online yang ada saat ini adalah Kemitraan dengan driver Taxol dan OJOL sebagai mitra dari Aplikator dikuatkan dengan perjanjian elektronik yang dibuat bersama. Perjanjian tersebut pun tidak melanggar prinsip sah nya sebuah perjanjian dalam KUHPerdata Pasal 1320 sehingga mengikat para pihak sesuai KUHPerdata pasal 1338 : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Patut diakui bersama bahwa konsep kemitraan yang ada saat ini masih sangat jauh dari kata Adil dan prinsip kesetaraan, karena memang kemitraan yang ada di platform transportasi online saat ini jelas merupakan hal baru dan tidak diatur dalam UU No.20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Dalam pasal 1 angka 13 disebutkan Kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar.
Undang–undang ini jelas mengatur hubungan Business to Business (Badan Usaha dengan Badan Usaha) dan tidak mengakomodir kemitraan antara Badan Usaha raksasa seperti Gojek, Grab, Maxim, Shopee atau lainnya, dengan perseorangan pengemudi Taxol atau OJOL. Kemitraan yang saat ini ada memang jelas melanggar prinsip Kesetaraan dan Keseimbangan. Ini merupakan PR bersama bagi Pemerintah dan DPR serta pegiat Transportasi Online di Indonesia.
Sebaiknya pemerintah serius dalam membuat sebuah regulasi baru tentang Transportasi Online yang ada saat ini. Yang dibutuhkan oleh para pekerja Platform adalah regulasi yang jelas melindungi keberadaan dan hak kewajiban stake holder yang terlibat serta mempertegas keberadaan pemerintah sendiri sebagai Regulator. Tidak boleh ada satupun anak bangsa ini yang terabaikan. Semua harus sejahtera dan bangkit bersama untuk Indonesia Gemilang 2030. Itulah yang dibutuhkan oleh driver Transportasi Online, bukan janji sesaat para pejabat seperti THR saat ini yang jelas sulit direalisasikan. Jangan janjikan Driver Transportasi Online seperti janji pak wamen kepada Buruh Sritex sebelumnya. Salam. (*Ketua Umum Organisasi Gaspool Lampung yang juga Tim Penyusun Permenhub 12 tahun 2019)
Logika Yang benar dalam Prinsip Hubungan kerja dengan Aplikatorlah yang memberikan kerja(perintah) bukan konsumen. Karena Aplikatorlah yang menetukan siapa Drivernya saat ada konsumen yang pesan.
Jadi perintah kerja datangnya dr Aplikator.
Hubungan kerja meliputi Perintah, upah, dan pekerjaan harusnya sdh memenuhi Ojol untuk mendapatkan THR.
Sama halnya Pekerja/ Buruh yang bekerja di perusahaan yg dapat Tender itu Perusahaan(PT) nya lalu Perusahaan tersebut memberikan kerjaan untuk menyelesaikan ke Pekerjanya. Jika Pekerja tersebut melanggar peraturan perusahaan yg memberikan Sanksi PT tersebut bukan pemberi Tender. Sama halnya Ojol jika Driver ada yg melanggar yg memberi sanksi Aplikator.