Drama Bonus Cleaning Service Kebiri Peran Pengawasan

banner 970x250

Oleh: Joni Efendi

Bacaan Lainnya

KESEJAHTERAAN tenaga honorer masih jauh dari kata layak, pasalnya gaji yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan tanggung jawab yang mereka emban. Benar, tidak menerima prestasi, salah di maki. Dengan dalih ‘mencintai pekerjaan’ mereka tetap bertahan.

Mirisnya saat ini tidak jarang tenaga honorer yang diperlakukan layaknya ‘Pembantu’ dengan pekerjaan yang menggunung namun pendapatan sangat minim. Bahkan tenaga honorer juga yang mengerjakan pekerjaan para PNS. Para honorer juga kerap mendapat perlakuan kurang pantas.

Seperti belasan tenaga honorer di Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung. Alih-alih menerima insentif, justru mereka harus menanggung bonus cleaning service. Masing-masing honorer ini harus merogoh kocek Rp75 ribu perbulan.

Anehnya, dalih bonus itu sudah berlangsung selama satu tahun. Secara logika, bonus atau insentif yang bukan hak (honorer) dan tidak diatur dalam ketentuan pemerintah daerah, mestinya tidak diberikan setiap bulan. Kecuali ASN yang memiliki jabatan maka secara otomatis melekat, jelas ada tambahan penghasilan.

Pihak Bapenda menyangkal pungutan itu dilakukan atas dasar kesepakatan dan diluar pengetahuan pimpinan, itu sama saja menunjukan kebodohan adanya sengkarut anggaran di kantor tersebut. Sebab, memberi bonus cleaning service kebijakannya hanya bisa dilakukan atas dasar persetujuan pimpinan.

Seolah insentif cleaning service di kantor itu wajib. Ikhlas atau tidak, para honorer ini tidak bisa berbuat banyak selain pasrah. Namun jika sumber dana berasal dari sumbangan gaji honorer, tentu hal itu tidak dibenarkan. Apapun alasannya. Bak buah simalakama.

Untuk itu, instansi yang memiliki fungsi pengawasan harusnya peka, dan tidak berdiam diri menunggu laporan dari pihak-pihak tertentu. Ibarat wayang, pelakon cerita yang hanya bisa pasrah dengan dalangnya. Aktor dungu dengan drama kebohongan.

Dimana setiap badan atau kantor lembaga pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak para pegawai. Dan bukan malah dilimpahkan dengan para pekerja. Apalagi bonus atau insentif tersebut merupakan kebijakan, tidak elok jika dibebankan dengan para buruh pemerintah plat merah tersebut.

Saat Pemerintah Pusat Perjuangkan Honorer

Nasib tenaga honorer di instansi pemerintah daerah tahun 2025 menjadi atensi pemerintah pusat. Hal itu sejalan dengan Amanah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 yang hanya mengenal PNS dan PPPK sebagai pegawai pemerintah.

Beberapa hal yang menjadi fokus bahasan yakni tentang nasib jutaan tenaga honorer di pemerintah daerah. Kemendagri dan PANRB mendorong agar pemerintah provinsi menyelesaikan alih status honorer dengan skema PPPK penuh waktu dan paruh waktu.

Terkait hal tersebut, Pj. Bupati Tulang Bawang Barat M. Firsada seharusnya cepat tanggap dengan semua masalah yang terjadi di daerah yang dia pimpin. Terlebih masalah itu terkait para honorer. Pemerintah daerah seharusnya mendukung pemerintah pusat yang saat ini sedang gencar memperjuangkan para honorer.

Jika menelaah kondisi tersebut, pungutan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan honorer sangat tidak sejalan dengan program pemerintah pusat. Terlebih alasan untuk membayar bonus pegawai, di saat pemerintah pusat sedang memperjuangkan nasib para honorer ini. Sangat memalukan, apapun alasannya.

Ini masalah kecil, namun kurang elok. Untuk itu peristiwa miris ini harus menjadi catatan pimpinan di daerah. Seharusnya pimpinan satuan kerja tidak perlu sibuk membuat kebijakan jika sumber dananya belum jelas. Apalagi dengan mengorbankan bawahan yang bayarannya tidak seberapa.

Peran Pengawasan Lemah

Keberadaan inspektorat daerah dinilai masih tak berfungsi secara maksimal dalam melakukan pengawasan internal pemerintah. Kerja inspektorat terkesan hanya menunggu laporan masyarakat. Akibatnya, fungsi pengawasan internal pemerintah daerah belum berkontribusi signifikan.

Hal itu disebabkan inspektorat daerah masih masuk dalam jajaran SKPD sehingga mereka tidak leluasa dalam melaporkan dugaan penyimpangan di tingkat pemerintahan daerah (pemda). Masalahnya ada pada independensi jajaran APIP. Inspektorat seharusnya tidak berada di bawah eksekutif daerah.

Dengan demikian, pengawasan bisa berjalan dengan baik. Lembaga ini memiliki peran dan unit kerja yang sangat strategis baik dari aspek fungsi dan tanggung jawab dalam manajemen maupun dari segi pencapaian visi dan misi serta program-program pemerintah.

Inspektorat daerah mempunyai kedudukan setara dengan fungsi perencanaan atau pelaksanaan. Sedangkan dari segi pencapaian visi, misi dan program-program pemerintah, Inspektorat menjadi pilar yang bertugas dalam melakukan pengawasan pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan.

Untuk itu inspektorat daerah harus menjaga marwah dan tanggap dalam setiap persoalan daerah yang terjadi. Seperti peristiwa pungutan dana terhadap belasan honorer di kantor Bapenda di daerah itu. Itu menunjukan ada ketidak wajaran tatakelola keuangan di kantor yang mengelola pendapatan daerah tersebut.

Jika hanya memanggil pihak terkait sekedar meminta klatifikasi tanpa tindakan lain, tentu masalah tersebut tidak akan tuntas. Inspektorat bisa menggunakan fungsinya dengan melakukan penelusuran (investigasi) agar permasalahan itu tidak menjadi momok para honorer.

Jika itu tidak dilakukan, maka masalah tersebut akan menjadi fitnah berkelanjukan antara kedua belah pihak. Inspektorat terkesan dikebiri. Jika Inspektorat tidak lagi di hargai, maka jangan di salahkan jika para abdi negara tersebut menggunakan kekuasaannya untuk melakukan kejahatan serupa.

banner 970x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.