E-voting VS Perppu Sanksi Protokoler Kesehatan Covid-19, Oleh : Gindha Ansori Wayka

JIKA Pilkada serentak tetap dilaksanakan pada Desember 2020, perlu dikaji juga bagaimana tingkat partisipasi rakyat dalam pilkada serentak di tengah pandemi Covid-19, dipastikan partisipasi itu akan rendah. Mengingat masih banyak rakyat kita yang lebih baik diam di rumah dari pada sekedar datang dan memilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS), hal ini disebabkan rakyat sedang berhadapan dengan pandemi Covid-19.

Disamping itu, rakyat juga kini melihat pilkada itu hanya ritual demokrasi semata yang pada akhirnya terkadang bukan mendatangkan manfaat malah malapetaka untuk rakyat dan bahkan pemimpinnya sendiri jika tidak sesuai aturan dalam memimpin (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).

Seharusnya di tengah pandemi ini jika terpaksa Pilkada serentak harus terus dilaksanakan pada Desember mendatang, maka pemerintah termasuk KPU serta elemen masyarakat lainnya harus sudah bahu membahu memikirkan dan menciptakan perangkat lunak bagaimana e-voting (pemungutan suara elektronik) dapat dilakukan, bukan hanya sekedar membuat dan menerbitkan PERPPU tentang perketat protokol kesehatan dengan tambahan sanksi semata.

Jangan bentur masyarakat dengan wabah pandemi covid-19 tanpa solusi demokrasi yang elegant, sementara yang jadi pemimpin nantinya dipastikan ada yang belum tentu se peduli itu dengan rakyatnya.

Ditengah kegawatan dunia saat ini, berpikirnya harus komprehensif agar menjadi pribadi yang solutif, seberapa penting adanya pejabat itu “nongkrongin” jabatannya dibanding keselamatan rakyat, bukankah ada asas hukum umumnya “salus populi suprema lex esto dimana keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi”.

Menunda pilkada serentak bukan kemudian kita tidak berdemokrasi, ada banyak celah pemerintah untuk menerbitkan regulasi dan mengisi kekosongan jabatan Gubernur, Walikota dan Bupati se Indonesia untuk hanya sekedar melewatkan wabah pandemi covid-19 atau dengan cara menyiapkan metode e-voting untuk pemilihan pemimpinnya.

Jangan hanya alasan hanya untuk sekedar mengisi ruang kosong jabatan Gubernur, Walikota dan Bupati, rumah sakit menjadi penuh dan sesak oleh korban dampak yang akan ditimbulkan dari perhelatan rutinitas demokrasi yang kadang menunjukkan dagelan tak berkualitas. (Penulis : Koordinator Presidium Komite Pemantau Kebijakan dan Anggaran Daerah (KPKAD) Lampung).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.