Efek Berantai Tingginya Kenaikan Cukai Rokok

PEMERITAH telah memetapkan akan menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23 persen. Secara otomatis harga jual rokok eceran naik ke angka 35 persen. Kenaikan cukai dan harga jual eceran ini mulai berlaku 1 Januari 2020 dan akan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Kenaikan tersebut menurut Menkeu telah dihitung dan dipertimbangkan secara matang.

Tarif cukai tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, Kementerian Keuangan merinci satu persatu jenis rokok dan besaran tarif kenaikannya. Aturan ini ditetapkan pada 18 Oktober 2019 dan diundangkan pada 21 Oktober 2019.

“Batas waktu pelekatan pita cukai yang telah dipesan dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.010/2018 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau masih dapat dilekatkan paling lambat tanggal 1 Februari 2020,” bunyi Pasal II Ayat (1) Huruf (b) (ii).

Sepanjang pemerintahan Joko Widodo, Presiden telah menaikkan cukai rokok sebanyak empat kali. Pertama, pada 2015, kenaikannya mencapai 8,72%. Lalu, pada 2016 sebesar 11,19%. Pada 2017 dan 2018 masing-masing 10,54% dan 10,04%. Total kenaikannya mencapai 40,49%. Kenaikan double digit tahun depan merupakan yang terbesar dibandingkan lima tahun terakhir.

Namun pemerintah merasa perlu melakukan langkah drastis ini karena jumlah prevalensi perokok yang meningkat. Sisi lain lebih dari 70 persen penjualan rokok masuk ke kas negara dalam bentuk cukai, PPN, serta pajak rokok daerah. Sisa dari pembayaran pajak, itulah yang digunakan perusahaan untuk biaya produksi, distribusi, dan upah tenaga kerja.

Berdasarkan data, belanja rokok menempati peringkat kedua dalam konsumsi rumah tangga dalam keluarga miskin. Mereka lebih memilih belanja rokok daripada belanja makanan bergizi. Hasil survei Sosial Ekonomi Nasional (Susanas) 2015 mengungkapkan, belanja rokok telah mengalahkan belanja beras.

Konsumsi rokok ini setara atau bahkan mengalahkan konsumsi total untuk daging, susu, telur, ikan, pendidikan, dan kesehatan. Tiga dari empat keluarga Indonesia memiliki pengeluaran untuk membeli rokok. Kelompok keluarga termiskin menurut survey justru mempunyai prevalensi merokok lebih tinggi daripada kelompok pendapatan terkaya.

BPS menyatakan rokok menjadi penyumbang kemiskinan terbesar nomor dua. Tingginya belanja rokok keluarga miskin ini mengganggu program pemerintah untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Karena itu, berbagai kalangan menilai rokok sebagai perangkap kemiskinan.

Kementerian Kesehatan mengapresiasi kenaikan cukai rokok sebagai upaya mengurangi perokok anak. Persentase perokok anak kurang dari 18 tahun terus meningkat, dari 7,2 persen (2009) menjadi 8,8 persen (2016), lalu menjadi 9,1 persen (2018). Peningkatan jumlah perokok anak dinilai semakin jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019 sebesar 5,4 persen.

Sejumlah kalangan berpandangan kenaikan harga dan cukai rokok merupakan kebijakan yang harus dirumuskan secara hati-hati dan komprehensif dengan mempertimbangkan dampak yang dapat ditimbulkan terhadap seluruh mata rantai industri tembakau nasional.

Sebab, di industri ini lebih dari 6 juta rakyat Indonesia yang menggantungkan penghidupannya, seperti petani, pekerja, pabrikan, pedagang dan konsumen.

Lalu benarkah kenaikan cukai akan efektif mengurangi perokok, terutama anak? Ini masih asumsi karena menjadikan mahalnya rokok akan membuat anak-anak tak mampu lagi membelinya. Untuk pemula mungkin benar, tetapi jika sudah kecanduan, harga tak akan menjadi penghalang.

Mereka demi memuaskan keinginan merokok akan melakukan apa saja. Bisa saja anak dan remaja yang sudah kecanduan akan menjual barang orangtuanya. Kejahatan remaja justru makin meningkat.

Selagi rokok masih dengan mudah didapatkan di pasar karena dijual bebas, maka kenaikan harga tidak akan mengurangi konsumsi. Belajar dari kasus sebelumnya, keluhan perokok hanya di awal saja, begitu berjalan seiring waktu, maka kebutuhan itu tetap harus dipenuhi. Meski untuk bisa merokok, ada kebutuhan lain yang dikurangi.

Pengurangan perokok tidak akan memadai dengan kenaikan cukai. Belajar dari Singapura, aturan merokok di ruang publik yang mesti tegak. Silakan orang membeli rokok, meski tahu itu bisa merusak kesehatan mereka.

Penulis : JONI EFENDI

banner 300250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.