DI SEJUMLAH daerah telah memunculkan tokoh atau kandidat yang berpotensi maju di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Tak hanya politisi, sejumlah nama dari kalangan birokrat pun di sebut-sebut maju di Pilkada serentak tahun ini.
Di Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung, muncul dari kalangan birokrat, yakni Novriwan Jaya yang saat ini masih menjabat Sekda di kabupaten itu. Upaya Novriwan dapat dipastikan masuk dalam bursa pencalonan kepala daerah.
Bahkan Partai Demokrat, Perindo, PKB, PAN, Nasdem, PDIP, Hanura, dan Partai Buruh sudah kepincut meminang Novriwan. Dapat dipastilan Novriwan Jaya dan Nadirsyah akan melawan kotak kosong. Sebab Partai Gerindra, PKS dan Golkar non koalisi tidak cukup kursi untuk membuat poros sendiri.
Fenomena sekda muncul menjadi tokoh yang dianggap berpotensi lumrah terjadi menjelang Pilkada. Peran vital sekda dalam pemerintahan, secara normatif mempunyai fungsi mengevaluasi, memantau, mengorganisasi, inspirasi dan lainnya, membuat sekda secara politik diuntungkan.
Kabar sekda mencuat sebagai kandidat di Pilkada Tubaba itu masih menggelinding dan menyedot perhatian publik. Selain di Kabupaten Tulangbawang Barat, fenomena sekda manggung Pilkada juga terjadi di Kota Depok, Kuningan, Kota Tasikmalaya, Majalengka, dan Kota Sukabumi.
Kelima Sekda di Jawa Barat ini dikabarkan sudah secara resmi mengajukan cuti. Sementara Novriwan Jaya masih aktif menjalankan tugasnya sebagai Sekda Tubaba. Hal ini tentu berpengaruh dengan pasilitas yang erat melekat dengan jabatannya sebagai panglima ASN di daerah itu.
Novriwan belum secara tegas memutuskan untuk cuti atau mundur. Tentu alasannya, tak melanggar undang- undang sebab masih penjajakan. Secara norma hukum tidak masalah, tidak melanggar (UU). Tapi, secara etika politik, itu tidak pantas.
Menurut UU Nomor 20 Tahun 2023 pasal 56, pejabat pimpinan tinggi Madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur. wakil gubernur, bupati atau wali kota, dan wakil bupati atau wakil wali kota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak ditetapkan sebagai calon.
Mengacu UU diatas, kuat alasan para kandidat belum ditetapkan sebagai calon kepala daerah. Akan tetapi kedudukannya sebagai panglima ASN bisa saja dimanfaatkan untuk memudahkan jalan terjal dalam bursa calon kepala daerah. Posisinya yang masih menjabat sebagai sekretaris daerah tentu paham apa itu etika.
Kelima sekda di Jawa Barat itu tentu bisa kita jadikan panutan. Meski tidak diatur cuti sebelum ditetapkan sebagai calon kepala daerah. Namun secara etika mestinya calon yang berasal dari birokrat secara profesional sudah mulai menyiarkan pengunduran dirinya sebelum resmi ditetapkan sebagai calon.
Dimana etika politik merupakan prinsip pedoman dasar yang dijadikan pondasi perjalanan roda pemerintahan. Termasuk tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi atau politik. Novriwan harusnya menjadi contoh untuk menciptakan suasana harmonis antar pelaku, antar kekuatan sosial politik, serta antar kelompok kepentingan lainnya.
Seluruh pihak juga harus mengawal netralitas ASN agar selama tahapan pilkada seluruh pelayanan kepada masyarakat tetap dilakukan secara profesional. Sebab, potensi gesekan terkait netralitas ASN di pilkada lebih besar dibandingkan saat pemilu.
Soal netralitas ASN ini menjadi salah satu persoalan krusial yang paling menjadi momok menakutkan dari praktik demokrasi lokal kita. Meskipun politisasi dan mobilisasi ASN sudah banyak jadi sorotan tapi praktiknya terus berlanjut.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Mentalitas birokrasi kita yang masih jauh dari semangat reformasi birokrasi mestinya mewujudkan ASN dan PNS yang loyal pada pelayanan publik dan kepentingan negara ketimbang atasan atau aktor politik lokal.
Kemudian kepentingan politik partisan ASN yang punya irisan kekerabatan atau kesukuan dengan calon yang maju di pilkada juga menjadi faktor pemicu tidak netralnya ASN. Selain itu digunakannya pilkada sebagai tukar guling untuk mencari promosi jabatan.
Faktor lain intimidasi dan tekanan orang kuat lokal terlalu dominan kepada ASN yang berada dalam cengekraman ekosistem karena dianggap tidak menguntungkan. Dan penegakan hukum yang masih birokratis, terlalu banyak melibatkan pihak dan belum sepenuhnya memberi efek jera kepada para pelaku pelanggaran netralitas di pilkada.
ASN selalu jadi sasaran politisasi karena memang suara dan akses yang dimiliki selalu disasar untuk memberi efek elektoral bagi para oknum kandidat. Selain itu, ASN memiliki hak suara sekaligus juga akses pada fasilitas jabatan serta pengaruh terkait dengan kewenangan yang melekat pada jabatannya itu.
Dari itu kemampuan menggerakkan ASN dianggap sebagai keuntungan bagi para oknum kandidat yang pragmatis dan oportunis. Etika politik abdi negara ini diperlukan karena melekat dengan kewenangan yang masih dalam tanggungan negara. Apalagi masih menjalankan kegiatan politik sebagai bakal calon kepala daerah.
Oleh : Joni Efendi