Keberadaan “Las Sengok’ Pada Masanya

BUPATI Tulangbawang Barat, Lampung, Umar Ahmad mengukir sejarah “masa depan” bagi kehidupan manusia di masa kini dan akan datang. Sejarah yang dilahirkan melalui Kota Budaya dan seni berbasis ekologi atau interaksi antar makhluk hidup dan lingkungan itu, dibahas dalam event bertajuk “Sharing Time: Megalithic Millennium Art“, 22 hingga 26 Januari 2020.

“Setelah ribuan tahun lalu, manusia jarang menggagas tempat tempat Megalitikum. Melalui “Sharing Time” ini, kita ingin menandai relasi hubungan manusia dengan alam dengan sebuah tanda yang ditempatkan di Las Sengok,” kata Bupati Umar Ahmad, dalam sambutannya saat pembukaan “Sharing Time: Megalithic Millennium Art”, di Kota Budaya Ulluan Nughik, Rabu (22/1/2020).

Pernyataan Umar Ahmad tersebut sekaligus menjawab keberadaan ‘Las Sengok’. Dimana ditempat tersebut terdapat tradisi megalitik struktur batu-batu raksasa (megalit) atau ciri kebudayaan megalitikum sebagai tanda. Keberadaan batu-batu raksasa ini diyakini seratus atau seribu tahun kedepan akan disebut manusia pada masanya sebagai peninggalan zaman megalitik. Tradisi ini akan dikenal dalam perkembangan peradaban manusia saat ini dan masuk dalam catatan sejarah.

Keunikan lokasi yang menyerupai situs megalitikum ini berbentuk sebuah pulau. Para pengunjung dapat menemukan berbagai macam kura-kura, pohon dan batu-batu raksasa. Selain batu-batu raksasa, ditempat tersebut juga terdapat pemandangan berupa pulau yang dikelilingi sungai menyerupai danau sangat memanjakan mata pengunjung. Kawasan ini masih memiliki karakter vegetasi hutan hujan dataran rendah dan hutan perbukitan kecil.

Selain itu menurut Umar, telah lahir sosok mahluk di Kota Budaya tersebut yang telah disepakati dengan nama “Bunian”. Dimana keberadaannya untuk menjaga pepohonan dan sumber-sumber air. Tutur-tutur ini, kata Umar, akan dijadikan skema pembelajaran di sekolah dasar dan menengah pertama di Tubaba. “Kita akan menjadikan Tubaba khusunya ‘Ulluan Nughik’ Kota Budaya berbasis ekologis. Untuk memperkuat semua itu, kita telah menyusun langkah dan strategi,” ujar Umar lagi.

Alumni Universitas Lampung ini meyakini melalui pendidikan kesenian dan lingkungan,
Visi-nya menjadikan Tubaba sebagai wilayah yang memiliki atmosgis kebudayaan dan wawasan ekologis bisa merubah manusia lebih baik dan beradab. Pendidikan ekologi di daerah tersebut telah di mulai dari kesadaran dalam praksis sehari-hari. Seperti tidak membuang sampah sembarangan, pengurangan sampah plastik, menanam pohon hingga diberikan pengetahuan pertanian permakultur.

Event “Berbagi Waktu” itu dihadiri para seniman, profesional, peneliti, arkeolog, antropolog, dan pelaku budaya dari berbagai negara. Seperti; America, Inggris, Kanada, Malaysia, Russia, Germani, Japan, Singapore, Australia dan Indonesia. Kegiatan akan berlangsung selama lima hari di empat titik lokasi Kota Budaya. Yakni; Ulluan Nughik, Sesat Agung, Las Sengok (Tiyuh Karta) dan Situs Patung Megouw Pak.

Sharing Time dikemas dalam berbagai acara, seperti sarasehan, workshop dan pertunjukan. Para seniman, profesional, peneliti, arkeolog, antropolog, dan pelaku budaya dari berbagai negara yang hadir dalam kegiatan tersebut akan membahas pertemuan dua tradisi untuk mendekatkan diri dengan alam, Tuhan serta peradaban masa silam dan situasi masa kini.

Untuk diketahui kegiatan tersebut merupakan gagasan Umar Ahmad dan Suprapto Suryodarmo. Suprapto merupakan seniman yang dikenal secara global melalui sebuah metode performance yang bernama “Joget Amerta”. Sebagai sebuah metode olah gerak, Joget Amerta menekankan pada pencarian ke dalam (inner), dari kedalaman diri lalu membangun kesadaran akan hubungan dengan lingkungan, manusia dan Tuhan. (ADV)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.