Ketika Wartawan Dilema?

Oleh : Joni Efendi

“Sebagai jurnalis, apakah kakak selalu benar?”

Pertanyaan itu dilontarkan seorang bocah yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar–baru baru ini, pertanyaan itu sontak membuatku terkaget-kaget. Tidak ada yang sempurna. Sebagai manusia tentu saya juga pernah melakukan kesahalan. Namun sebagai wartawan saya akan terus mengikhtiarkan kebenaran.

“Jurnalis tidak selalu benar. Tapi jurnalis selalu mengikhtiarkan kebenaran,” demikian jawaban singkat saat penulis menjadi pemateri pelatihan jurnalistik.

Kakak, merupakan sapaan akrab peserta kepada pemateri dalam pendidikan jurnalistik tingkat SD dan SMP se-Kabupaten Tulang Bawang Barat yang digagas PWI Tubaba, 22 hingga 29 September 2021.

Suasana sempat senyap, dilema. Antara jujur dan tidak. Sebab kejujuran harus dimiliki oleh seorang wartawan. Jika seorang wartawan tidak jujur, maka ia tidak bisa melakukan fungsinya sebagai penyampai amanah yang baik. Seperti yang baru saya sampaikan kepada para peserta itu.

Sebagai pembicara, tentu saya harus menjadi teladan para peserta. Kalimat “mengikhtiarkan” tentu sejalan dengan idealisme insan pers di media mana pun. “Wartawan harus menyampaikan informasi yang menjadi hak publik dan tidak boleh melakukan intervensi informasi kepada masyarakat,” sahutku lagi.

Tugas wartawan hanya melakukan kegiatan jurnalistik dalam bentuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi kepada perusahaan pers. Agar tidak melakukan kesalahan tentu wartawan harus lebih jeli sebelum menulis berita.

Saya merenung, pertanyaan singkat dari bocah yang masih lugu itu terus terngiang. Dalam hatiku, sebagai wartawan apakah tugas yang saya lakukan selama ini sudah membuat khalayak umum memperoleh informasi yang benar, tepat, akurat, dan objektif. Atau sebaliknya.

Adik cerdas itu sudah mengingatkan tugas wartawan dalam mencari informasi. Di tengah berkembangnya teknologi digital, maka wartawan juga ikut berperan dalam mencerdaskan anak bangsa melalui berita yang ditulis. Untuk itu seorang jurnalis harus terus melatih dirinya dalam mengelola informasi sebagai peristiwa yang layak dan pantas diberitakan

Seorang yang dipercaya publik akan selalu menghasilkan karya yang ditunggu-tunggu, karena pembaca meyakini jurnalis itu tidak selalu berkutat pada desas-desus semata. Tetapi sanggup menyembulkan kepentingan publik sebagai realitas yang diperlukan. Publik saat ini memiliki lebih banyak sumber untuk menerima informasi.

Ada juga stigma negatif dari sebagian guru pendamping. Sebelum mengikuti pendidikan jurnalistik, anggapan mereka jika wartawan adalah tukang cari masalah. “Sebelumnya kami takut hadir disini (journalism education). Tapi ternyata, tidak seperti dugaaan kami. Bahkan kami berharap pelatihan seperti ini bisa di khususkan untuk kepala sekolah dan guru,” kata salah satu guru pendamping.

Saya pun berpikir, tukang cari masalah’ dan
keperluan duit’ pada diri wartawan ternyata stigma yang terlalu ‘memukul rata’. Sebab, tidak semua wartawan terdidik dan beridentitas tukang cari masalah hanya untuk ‘keperluan duit. Mungkin ada sebagian oknum yang seperti itu. Juga, tidak menutup kemungkinan ada sebagian yang tidak seperti itu.

Kesimpulannya. Satu wartawan dengan wartawan lain itu tidak sama. Ketidaksamaan ini harus diposisikan sebagai tiang untuk mengibarkan bendera dialogis antara masyarakat dengan setiap individu wartawan. Masyarakat harus mengenal setiap sosok wartawan. Sebab, apa yang dilakukan satu wartawan belum tentu dilakukan wartawan lain.

Seorang jurnalis atau wartawan memang layaknya seorang peneliti, abai pada metodologi riset dapat mengubah hakikat “kebenaran” menjadi dikotomi: antara persepsi atau fakta. Kebenaran hanyalah kebenaran dalam tanda kutip karena tak sampai pada puncaknya.

Jangan sampai, cita-cita menjadikan pers sebagai “penyambung lidah rakyat” yang sejati justru mati di masa ketika aliran informasi kian cepat dan mudah. Jangan sampai, ketika teknologi hadir untuk membantu, malah hati nurani sendiri yang jadi hambatan.

Traffic memang sewajarnya menggenapi kalkulasi keberlangsungan hidup sebuah media, tapi tak lantas jadi sesembahan. Produk jurnalistik dari institusi pers yang seperti itu jika tidak benar, ya, tidak akan dipercaya.

Etika berkomunikasi mutlak diperlukan masyarakat. Jika tidak, maka informasi yang ditulis dapat menimbulkan kegaduhan. Sehingga tidak menimbulkan fitnah yang bisa merusak citra  profesi. Ada beberapa kasus yang dialami oleh seorang wartawan seperti diancam, dianiaya, bahkan diminta untuk memberitakan hal yang subjektif, hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Dulu, kita masih bisa menyelamatkan keluarga dari fitnah dengan menyuruh mereka masuk ke dalam rumah. Tapi sekarang, dengan kemajuan teknologi informasi, sumber fitnah itu sendiri telah bercokol di dalam rumah kita, di dalam kamar kita, bahkan di dalam genggaman kita.

Kesimpulan, pendidikan jurnalistik yang diselenggarakan PWI Tulangbawang Barat tingkat SD-SMP ini, peserta bukan hanya mendapat ilmu dan wawasan dari pemateri. Akan tetapi, dengan pertanyaan – pertanyaan yang diajukan siswa, dapat mendorong insan pers Tubaba untuk bekerja lebih baik sesuai kaidah dan kode etik.

Tidak berlebihan, saya sebagai salah satu pemateri mengapresiasi peserta pendidikan jurnalistik tingkat SD-SMP se-Tubaba. Program “Tubaba Cerdas” pemkab setempat telah berhasil melahirkan seorang individu yang berkarakter, berintegrasi dan memberikan manfaat bagi sesama. Salam sehat untuk anak-anak Tubaba.

Penulis adalah wartawan warta9.com. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak menggambarkan sikap/pendapat tempat institusi penulis bekerja

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.