INDONESIA kaya akan keragaman suku, budaya dan adat istiadatnya. Tentu semua itu menjadi kebanggaan tersendiri sehingga wajib dilestarikan oleh masyarakatnya sesuai falsafah Bhinneka Tunggal Ika. Nama Baduy dan Lampung terlesip diantara banyaknya suku yang ada di Indonesia.
Suku baduy diketahui sebuah kelompok adat Sunda yang berada di pegunungan Kendes Desa Kanakes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Banten. Namun, masyarakat baduy lebih suka menyebut diri mereka dengan nama urang kanekes.
Tradisi, rumah adat baduy merupakan rumah panggung yang hampir seluruh bagian rumah menggunakan bahan dari bambu. Rumah adat baduy sudah terkenal dengan kesederhanaan dan juga keamanaan serta kenyamanan. Semua ini dibangun untuk bisa bertahan hidup sebagai insting dari manusia.
Proses kelestarian alam juga sangat berlaku saat membangun rumah adat mereka yang terbuat dari kayu dan bambu. Terlihat dari kontur tanah yang masih miring dan tidak digali demi menjaga alam yang sudah memberi mereka kehidupan.
Rumah-rumah di sana dibangun dengan batu kali sebagai dasar pondasi, karena itulah tiang-tiang penyangga rumah terlihat tidak sama tinggi dengan tiang lainnya.
Kelompok etnis Sunda ini sebelumnya hidup dalam satu pulau dengan suku Lampung. Namun belakangan diidentifikasi meletusnya Gunung Krakatau menjadi penyebab pemisahan Pulau Jawa dan Sumatera. Peristiwa ini disebutkan terjadi pada tahun 416 Masehi.
Hubungan Provinsi Banten dengan Provinsi Lampung jika menilik sejarah masa lampau ternyata tidak sekadar hubungan antar daerah otonom dalam wilayah kesatuan Indonesia. Hubungan Banten dan Lampung ini diyakini terbentuk oleh perjalanan sejarah saudara kandung yang saling melengkapi dan mendukung.
Jika anda menjajaki Lampung banyak ditemukan kuburan-kuburan kuno dan keramat, pada umumnya orang akan menyebut kuburan itu sebagai Kyai Banten. Bahkan di Kedaton, sebuah bukit memiliki sebutan Gunung Banten. Karena di lereng bukit tersebut terdapat kuburan yang diyakini seorang kyai asal Banten.
Tempat lainnya adalah Desa Pager Dewa, sebuah desa di pedalaman Lampung persis di hulu tepi sungai Tulang Bawang. Di tempat ini juga terdapat makam kuno kyai Banten yang dikeramatkan. Bahkan konon kabarnya kampung ini pernah dikatakan sebagai pusat Kerajaan Tulang Bawang yang telah menganut ajaran Islam.
Nama Tulang Bawang selalu dikaitkan dengan kerajaan kuno di Lampung yang pernah ada pada abad kelima, keenam, ketujuh. Namun demikian, pusat kerajaan yang hingga saat ini masih belum ditemukan itu diyakini ada hubungan kuat dengan para kyai asal Banten.
Fakta lainnya dapat kita temui di Bandar Lampung, persisnya di Kampung Kaliawi, Durian Payung, Gedung Pakuan, Kuripan, Tanjung Gading. Tempat-tempat tersebut adalah tempat bermukimnya penduduk yang berasal dari Banten. Hal tersebut mungkin cukup beralasan, mengingat jarak antara Banten dan Lampung sangat dekat sebelum pulau Jawa-Sumatera terpisah karena bergesernya lempeng bumi akibat letusan Gunung Krakatau kala itu.
Bahkan pada masa lalu, menurut sejarah penduduk Banten tetap tinggal di Banten, namun ladang-ladang (huma) mereka berada di Lampung.
Hubungan Banten dengan Lampung ini juga diperkuat oleh piagam tembaga yang hingga kini masih disimpan di salah satu rumah kediaman kerabat Raden Inten di Kampung Kuripan. Ini membuktikan permulaan masuknya pengaruh Banten di Lampung.
Menilik isinya, lebih kurang merupakan perjanjian persahabatan “Akan saling membantu dalam menghadapi musuh (penjajah)” dan tercantum juga dalam sebuah piagam “Dalung Kuripan” yang isinya “…..Lamun Ana Musuh Banten, Banten Mangrakwa Lampung Tutwuri Lamun Ana Musuh Lampung, Lampung Mangrakwa Banten Tutwuri….”
Menurut sejarah piagam ini dibuat pada masa pemerintahan Sultan Hasanudin dari Banten dan Ratu Darah Putih dari Keratuan Darah Putih (Lampung). Keduanya diketahui sebagai putra-putri Fatahilah yang berlainan ibu.
Selain itu juga terdapat Kampung suku Lampung di Anyer. Keberadaan orang-orang Lampung di Desa Cikoneng, Serang Banten ini, disebut memiliki sejarah panjang. Cerita keberadaan mereka secara turun temurun diwariskan hingga ke anak-cucu.
Desa Cikoneng yang ada di wilayah Kecamatan Anyar, sebuah kawasan wisata yang setiap akhir pekan ramai dikunjungi para pelancong. Namun, ada sekelumit cerita mengenai keberadaan orang-orang Lampung di Cikoneng.
Di tugu perbatasan antara Desa Cikoneng dan Desa Anyar, terdapat siger. Sebuah lambang yang menandakan keberadaan orang-orang Lampung di sana. Pada siger itu terdapat tulisa ‘Lampung Sai’ yang menurut keterangan Kepala Desa Cikoneng Nurwahdini adalah sebuah nama yang mengikat dan mempersatukan seluruh suku Lampung yang ada di Cikoneng.
Tak hanya di perbatasan, di gerbang masuk Desa Cikoneng juga ada lambang siger yang ada di setiap sudut rumah-rumah warga di sana. Saat memasuki Cikoneng, karakteristik Lampung melekat di sana, mulai dari bahasa hingga adat istiadatnya.
Suasana Lampung semakin terasa saat mendengar percakapan mereka, dalam kesehariannya, masyarakat di Desa Cikoneng khususnya di empat kampung yakni, Cikoneng, Tegal, Bojong, dan Salatuhur menggunakan bahasa Lampung.
Umar Ahmad Satukan Kembali Suku Banten dengan Lampung Meski Telah Terpisah Laut
Bupati Tulangbawang Barat Hi. Umar Ahmad adalah orang satu-satunya di Lampung yang berhasil menembus tokoh adat suku Baduy (negosiasi) untuk menyatukan kembali dua suku yang memiliki hubungan dan sejarah panjang tersebut. Hal itu dibuktikan dengan akan dibangunnya rumah adat suku Banten (Baduy) di Kabupaten Tulangbawang Barat, Lampung ini.
Saat ini kedua suku (Lampung-Baduy) tengah sibuk mempersiapkan acara peletakan batu pertama Kota Uluan Nughik, Selasa (17/7) esok. Setelah peletakan batu pertama di Balai Adat Sesat Agung Islamik Center, para tokoh adat kedua suku ini rencananya akan berjalan kaki menuju venue utama Rawa Kebok atau ‘Uluan Nughik’ untuk melangsungkan prosesi pendirian rumah adat suku baduy.
Kampung Uluan Nughik atau “las sengok” merupakan singkatan dari “hutan larangan”. Gagasan ide pendirian rumah adat suku baduy tersebut, muncul dari Bupati muda Kabupaten Tulangbawang Barat guna menyatukan kembali dua suku atau budaya Lampung dengan Banten, meski saat ini telah terpisah terbelah laut. Namun kedua suku tersebut dipercayai memiliki ikatan darah dan sejarah panjang.
Rumah Adat Banten
Nah, kita akan mengulas tentang keunikan rumah adat Banten tersebut lengkap dengan penjelasan seputar gaya arsitektur, nilai filosofis, gambar, dan ciri khasnya. Bagi Anda yang tertarik mengulik sisi unik rumah adat ini, silakan simak pembahasan berikut!
Struktur Rumah Adat
Struktur Rumah Adat Ditinjau dari struktur bangunannya, rumah adat Banten ini secara keseluruhan dibuat dari bahan material yang berasal dari alam. Bambu menjadi bahan utama dalam proses pendirian rumah adat ini, sementara batu, kayu, dan ijuk menjadi pelengkapnya.
Batu digunakan sebagai alas pondasi. Batu yang digunakan adalah batu datar yang berukuran besar sehingga dapat dipendam di dalam tanah. Batu yang biasanya diperoleh dari kali ini digunakan untuk mencegah tiang rumah cepat melapuk. Untuk diketahui, kayu tiang rumah akan mudah keropos bila langsung bersentuhan dengan tanah.
Pemasangan pondasi pada rumah adat Banten tidak dilakukan dengan merusak struktur tanah. Bila tanah tempat dibangunnya rumah memiliki kontur miring, maka pondasi pun menyesuaikan.
Hal inilah yang membuat kemudian tinggi tiang penyangga rumah tidak bisa disamakan. Tiang rumah sendiri berasal dari balok kayu berukuran besar. Kayu yang digunakan untuk tiang harus kayu yang kuat dan tahan lama seperti kayu jati, mahoni, atau kayu akasia.
Kayu yang kuat pada tiang sangat diperlukan untuk ketahanan rumah karena tiang merupakan tempat menopangnya rangka atap sekaligus rangka lantai. Untuk dinding, rumah adat ini umumnya menggunakan anyaman bambu yang disebut bilik.
Penggunaan bilik memberikan kesejukan bagi penghuni rumah karena sirkulasi udara dapat dengan mudah masuk dan keluar lewat celah anyaman. Inilah yang menyebabkan mengapa rumah adat Banten ini tidak memiliki jendela.
Sementara untuk lantai, digunakan bilah-bilah papan yang disusun sejajar atau bambu yang sudah dibuat menjadi datar (palupuh). Bagian atap rumah ini menggunakan bilah bambu dan ijuk. Bilah bambu digunakan sebagai kerangka atap, sementara ijuk digunakan sebagai atapnya. Ijuk juga dapat diganti dengan bahan daun alang-alang yang telah dianyam.
Suku Baduy Diterima Secara Adat
Untuk pertama, duta masyarakat Suku Baduy, Lebak, Banten, melakukan kunjungan balasan sekaligus melakukan prosesi adat pemindahan rumah adat asli mereka ke Kabupaten Tulangbawang Barat.
Sekitar sepuluh duta masyarakat Suku Baduy yang memegang teguh kearifan budayanya disambut para tokoh adat dari sebelas kampung/tiyuh di Kabupaten Tulangbawang Barat, Selasa (14/7).
Mereka juga disambut para pemuda adat Bumi Ragem Say Mangey Waway dengan mempertunjukkan tradisi pencak silat setempat di Komplek Islamic Centre atau Komplek Dunia Akherat.
Bupati Tulangbawang Barat (Tubaba) Umar Ahmad mengatakan kedatangan Suku Baduy merupakan silaturahmi sekaligus kunjungan balasan kepada para tokoh adat Tubaba beberapa bulan lalu.
Menurut Bupati Umar Ahmad, kunjungan tersebut peristiwa langka, belum pernah terjadi. Suku Baduy mengisolasi diri dari perkembangan zaman dan teknologi, selalu menjaga kelestarian alam, dan masih menjunjung tinggi adat istiadatnya.
Wak Aming, salah seorang sesepuh Suku Baduy, dalam bahasa sukunya, mengucapkan bangga dan berterimakasih atas sambutan yang begitu meriah dari masyarakat adat dari Empat Marga Tulangbawang Barat.
Lawe dari Studio Hanafi yang menerjemahkan sambutan Wak Aming
Rumah Adat Suku Baduy ini akan ditempatkan di pinggir ruas jalan calon Mapolres Tubaba dan Stadion Tubaba, samping lokasi calon Kantor PWI di Rawa Kebo, Kelurahan Panaragan Jaya, Kecamatan Tulangbawang Tengah, pas di belakang Rumdis Bupati Tubaba.
Bupati Umar Ahmad berharap dengan adanya rumah adat asli Suku Baduy dapat terus memperkenalkan Kabupaten Tubaba sebagai daerah tujuan wisata lokal, nasional, dan internasional.
Ketua Federasi Marga Empat Megowpak Tulangbawang Herman Arta mengatakan duta Suku Baduy disambut secara adat oleh masyarakat dan tokoh adat Marga Empat Megowpak Tulangbawang sebagaimana filosofi menghargai tamu: ”Gham Anggum di Tetamo.”
Menurut Herman Arta, masyarakat adat Lampung setiap akan mendirikan bangunan melakukan prosesi adat ”Ruah Bumi” dengan pemotongan hewan. ”Prosesi kali ini melakukan pemotongan kerbau,” katanya. (joni/nt)