Mudik, Pandemi dan Kerumunan, oleh : Wendy Melfa*

MENURUT catatan penulis, tradisi “pulang kampung” berkumpul bersama keluarga adalah kebiasaan penduduk Indonesia beragama muslim disetiap penghujung Ramadhan setiap tahunnya, entah sejak kapan, tetapi kebiasaan itu sudah menjadi “hukum tidak tertulis” bagi sebagian besar penduduk muslim Indonesia, meski hal serupa tidak terjadi dinegara-negara lain berpenduduk muslim sebagaimana se-fenomenal Indonesia.

Namun kebiasaan itu harus terkoreksi dengan sebuah keadaan baru, dimana kita saat ini sedang mengalami pandemi Covid-19 yang memasuki tahun ke dua berjalan. Seperti tahun lalu 1441 H, tahun inipun 1442 H pemerintah Pusat dan Daerah membuat kebijakan untuk melarang dan mengatisipasi warganya untuk tidak mudik dulu, angkutan umum dibatasi, persyaratan perjalanan diperketat dengan surat keterangan hasil pemeriksaan negatif terpapar covid-19, penyekatan dilakukan disejumlah titik arus dilalui kendaraan dan lain sebagainya.

Hal itu dimaksudkan untuk mencegah dan menghindari adanya penumpukan, kerumunan, konsentrasi orang dan perpindahan orang dalam jumlah banyak dari satu daerah ke daerah lainnya, yang dikhawatirkan dan berpotensi menjadi media penularan Covid-19 hingga bisa meningkatkan tingginya angka orang yang terinfeksi covid-19. Peningkatan angka dalam jumlah besar angka penderita terinfeksi Covid-19 menjadi ancaman nyata sebagaimana telah terjadi dinegara lain seperti India, Brazil, Bangladesh, Meksiko dan lainnya.

Menurut Kemenkes RI ada 3 varian baru covid-19 yakni, 1.1.7 asal Inggris, B.1.351 dari Afrika dan P.1 dari Brazil, ditemukan telah mask Indonesia dan wajib diwaspadai (rakor Pemerintah jelang Idul Fitri 1442 H tahun 2021, medsos Lampung.co). Provinsi Lampung sendiri masih mask katagori tinggi kasus covid-19, meskipun hasil evaluasi dalam lima bulan terakhir menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan, kasus konfirmasi yang menunjukkan angka penurunan, angka positivity rate-nya membaik, tingkat BOR (bed occupancy rate) atau tingkat keterisian tempat tidur isolasi pasien covid-19 juga dibawah rata-rata nasional, namun Pemerintah Pusat memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) skala mikro mulai selasa 4/5 hingga 17 mei nanti, hal itu dikemukakan oleh Ketua Komite Penanganan covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Airlangga Hartarto (RMOLLAMPUNG, 3/5).

Melarang dan membatasi tradisi mudik lebaran 1442 H beserta dampak lain dari liburan lebaran ini adalah tugas pemerintah untuk mengatur yang bertujuan penyelenggaraan kehidupan masyarakatnya terhindar dari bahaya ancaman peningkatan kasus Covid-19 yang bisa mengancam kesehatan dan bahkan keselamatan warga, juga mengantipasi keterbatasan dan kemampuan dan tenaga kesehatan apabila kasus Covid-19 meningkat tajam. Kebijakan pemerintah ini dalam lapangan hukum disebut Beleidsregel.

Termasuk pengaturan/ anjuran shalat sunnah Ied tidak dalam jumlah jemaah yang banyak, bisa dilakukan di rumah atau dilingkungan terbatas, toh bukan melarang shalat sunnah Ied, tetapi tempatnya disesuaikan yang tidak berpotensi menimbulkan kerumunan dan mencegah penularan covid-19. Bahkan terbaru, pemerintah juga melalui Surat Edaran Mendagri melarang kegiatan buka puasa bersama yang belakangan dirubah menjadi pembatasan buka puasa bersama juga Halal Bihalal Idul Fitri 1442 H, artinya pemerintah sungguh-sungguh mengantisipasi adanya kerumunan yang berpotensi menjadi penyebab penularan covid-19, (salah satunya belajar dari berita istri Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, terpapar Covid-19 karena sering berinteraksi dengan masyarakat dalam acara buka puasa bersama, Kompas.com, 19 April 21).

Dalam Islam perintah sangat jelas. Allah SWT berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS An Nisa: 59).

Ulil Amri adalah pemerintah yang membuat peraturan kebijakan (Belidsregel) seyogyanya telah mempertimbangkan banyak hal, termasuk meminta pendapat ulama, kementerian agama dan lainnya. Pemerintah tugas utamanya adalah menyelengarakan kesejahteraan umum sebagaimana diamatkan konstitusi negara, infrastruktur dasar dari kesejahteraan itu salah satunya adalah kesehatan masyarakat, ada adagium “keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi” (Salus Populi Suprema Lex Esto), tugas Pemerintahlah untuk mengatur keadaan ini agar menjadi lebih baik atas dasar penggunaan kewenangan bebas (freies Ermessen) yang dimilikinya dalam rangka penyelenggaraan kepentingan umum (bestuurszorg).

Hadirnya hukum, termasuk Beleidsregel nya Pemerintah esensinya adalah kepastian, keadilan dan kemanfaatan plus pemerintah harus konsisten menegakkannya. Bila pengaturan larangan mudik dan berbagai kegiatan lainnya dimaksudkan untuk mencegah kerumunan agar tidak berpotensi menularkan Covid-19, maka kemanfaatan itu juga harus tergambar pada kebijakan yang lainnya, agar supaya nampak rasa keadilannya.

Apabila tidak, maka publik akan membandingkannya “apple to apple” peraturan kebijakan tersebut yang tentu saja akan menimbulkan reaksi, seperti munculnya kebijakan memberi izin tempat wisata untuk buka selama libur lebaran, bukankah itu juga sangat berpotensi menimbulkan kerumunan, bahkan durasi waktunya bisa berlama-lama orang berwisata di tempat wisata ? Kebijakan ini yang membuat bingung dan tidak berpijak pada esensi hadirnya fungsi mengaturnya Pemerintah, wajar saja bila publik bereaksi, masih ada waktu untuk merenung dan mengevaluasi, semoga. *Dewan Pakar PMW KAHMI Lampung Pengasuh RuDem (Ruang Demokrasi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.