Negara Tidak Boleh Kalah dan Menyerah dengan Preman*

Warta9.com – Akhir-akhir ini, tindakan pungli dan premanisme cukup merebak dan meresahkan di tengah masyarakat. Untuk mencegah dan memberantas tindakan pungli dan premanisme di seluruh Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo memerintahkan seluruh jajarannya untuk melaksanakan operasi pemberantasan pungli dan premanisme serentak di seluruh Indonesia.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, maka tugas aparat penegak hukum khususnya Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang didasarkan pada Undang- Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di dalam Pasal 13 dijelaskan “dalam mengemban Tugasnya Kepolisian mempunyai 3 (tiga) Tugas Pokok yakni Memelihara Keamanan dan ketertiban masyarakat, Menegakan hukum dan Melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.

Dalam rangka implementasi tugas Kepolisian dalam hal yang berkaitan dengan fungsinya sebagai pengayom masyarakat, tentunya Polri mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya penanggulangan terhadap tindakan pungli dan premanisme. Pihak Kepolisian yang begitu dekat dan bersentuhan langsung dengan masyarakat secara luas diharapkan mampu mengambil tindakan yang tepat dalam menyikapi merebaknya tindakan pungli dan premanisme di tengah masyarakat yang berlangsung selama ini.

Pada dasarnya premanisme di Indonesia sudah ada sejak zaman penjajahan Kolonial Belanda (VOC). Istilah preman berasal dari bahasa Belanda yaitu vrijman yang berarti orang bebas atau tidak memiliki ikatan pekerjaan dengan pemerintah atau pihak tertentu lainnya.

Di definisi yang lain menyebutkan bahwa preman adalah kelompok masyarakat kriminal, mereka berada dan tumbuh di dalam masyarakat karena rasa takut yang diciptakan dari penampilan secara fisik juga dari kebiasaan-kebiasaan mereka menggantungkan kesehariannya pada tindakan-tindakan negatif seperti percaloan, pemerasan, pembunuhan, pemaksaan dan pencurian yang berlangsung secara cepat dan spontan.

Terlepas dari pengertian preman yang menjadi bagian kelompok masyarakat ini, langkah yang diambil oleh Kepolisian Republik Indonesia dalam memberantas tindakan pungli dan premanisme dengan melakukan operasi di daerah-daerah seluruh Indonesia, tentunya disatu sisi akan berdampak positif dan memberikan rasa keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat, namun disisi lain akan memberikan ruang gerak terbatas tersendiri bagi preman untuk melakukan aksi ditengah masyarakat.

Operasi pihak Kepolisian yang dilakukan terhadap tindakan pungli dan premanisme menjadi hal yang penting untuk didukung oleh semua lapisan masyarakat, namun harapannya dalam proses implementasi penertiban atau operasi, hendaknya tidak dilakukan secara “musiman”, mengingat tindakan pungli dan premanisme ini ada di dalam nafasnya kehidupan bermasyarakat.

Upaya Aparat keamanan dalam menekan tindakan pungli dan premanisme ditengah masyarakat melalui suatu instruksi yang terbatas waktu (operasi) akan menjadikan upaya pemberantasan terhadap tindakan pungli dan premanisme hanya “klise” semata, mengingat kecenderungan sosiologis dan psikologis pelaku kejahatan termasuk kejahatan pungli dan premanisme akan menurun di tengah masyarakat apabila ada kegiatan “operasi” dalam pemberantasannya, namun setelah itu tentunya akan merebak kembali, hal inilah yang sering disebut dengan teori “gunung es” dalam kehidupan masyarakat.

Tindakan pungli dan premanisme merupakan tindakan kejahatan tersendiri di tengah masyarakat, selain itu tindakan ini dapat memberikan dan menjadi faktor penyumbang atau pemicu terjadinya tindak pidana lainnya, sebagaimana yang diatur dalam beberapa Pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Peristiwa hukum yang dilakukan oleh para preman ini pada umumnya menurut hukum pidana, seperti pencurian dengan ancaman kekerasan (Pasal 365), pemerasan (368 KUHP), pemerkosaan (Pasal 285), penganiayaan (Pasal 351), melakukan tindak kekerasan terhadap orang atau barang dimuka umum (Pasal 170), bahkan juga sampai melakukan pembunuhan (Pasal 338) ataupun pembunuhan berencana (Pasal 340), perilaku Mabuk dimuka umum (Pasal 492), yang kesemua perbuatan ini tentunya dapat mengganggu ketertiban umum serta menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.

Tindakan pungli dan premanisme ini, tentunya berdasarkan analisis dari sistem hukum dapat segera ditindak dan dituntaskan. Menyitir Teorinya Lawrence M Fiedman bahwa sudah ada aturan yang mengatur terkait perbuatan-perbuatan yang mengarah pada tindakan pungli dan premanisme ini (Substansi Hukum), disamping itu terkait perbuatan mereka dapat dilakukan pemberantasan karena ada Lembaga yang bertugas khusus soal ini yakni Kepolisian dan penegak hukum lainnya (Struktur Hukum), serta akibat adanya tindakan pungli dan premanisme tentunya masyarakat tidak akan berpihak dalam melegalkan perbuatan ini karena dirasakan cukup meresahkan (Budaya Hukum).

Tindakan pungli dan premanisasi, tidak mengenal tempat dan waktu oleh karenanya masyarakat tentu sepakat dan mendukung penuh serta menyambut baik adanya upaya yang dilakukan oleh jajaran Kepolisian Republik Indonesia dalam pemberatasan tindakan ini, mengingat perilaku oknum yang melakukan pungli dan premanisme ini terkesan melakukan perbuatannya tidak berdasarkan aturan hukum yang berlaku, hal ini bukan hanya soal preman dengan masyarakat saja, terkadang antara kelompok preman pun saling serang untuk mempertahankan kepentingannya.

Di Provinsi Lampung, beberapa minggu terakhir tepatnya di Rawa Pitu Kabupaten Tulang Bawang, ada informasi bahwa sebuah koperasi yakni Koperasi Serba Usaha Sejahtera Bersama (Koperasi SUSB) yang bekerjasama dengan PT. Perkebunan Negara (PTPN VII) tidak dapat (terhambat) memanen buah sawit karena diduga ada oknum mantan Ketua Koperasi SUSB mengerahkan sejumlah orang untuk melakukan panen sawit secara melawan hukum.

Menurut informasi dari masyarakat bahwa jajaran Kepolisian sudah diberikan informasi melalui keluhan petani, semoga dapat segera ditindak untuk kenyamanan masyarakat di Provinsi Lampung, khususnya dikalangan petani sawit dapat menikmati hasilnya sesuai dengan jaminan hukum atas Warga Negaranya, sebagaimana yang tercantum dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, jangan sampai negara yang berdiri atas hukum ini, harus kalah dan menyerah dengan sekelompok orang yang memaksakan kehendaknya secara melawan hukum dalam negara berkedaulatan hukum ini. Bravo Kepolisian Republik Indonesia. (*Gindha Ansori Wayka, SH, MH, Akademis & Praktisi Hukum di Bandar Lampung)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.