Bandarlampung, Warta9.com – Dalam acara wisuda lulusan S1 dan Ahli Madya, Universitas Teknokrat Indonesia (UTI), di Gelanggang Mahasiswa Dr. HM. Nasrullah Yusuf, yang berlangsung dua gelombang, Rabu-Kamis (24-25/7/2024), tiga wisudawan tampil berpidato dalam tiga bahasa.
Pidato tiga wisudawan dan wisudawati yaitu, Nova Istiqomah, S.Kom, Nur Faqih Ardiantoro, S.Kom dan Selvia Ranti, SKom, mengangkat masalah Artificial intelligence (AI) dalam belajar dan Pendidikan Tinggi disampaikan Nova Istiqomah, S.Kom dalam Bahasa Inggris, Nur Faqih Ardiantoro, S.Kom dalam batasa Indonesian dan Selvia Ranti, SKom, disampaikan dalam bahasa Lampung.
Dalam orasinya, mahasiswa menjelaskan produk AI seperti Chat GPT memang menawarkan banyak peluang dalam proses pendidikan di perguruan tinggi. Tentu saja peluang tersebut akan selalu berkaitan dengan kepentingan mahasiswa dan peran dosen dalam proses pembelajaran.
Kita beruntung di zaman ini lebih mudah menyelesaikan pekerjaan kita. Bayangkan di zaman orang tua dulu, di mana belajar harus fotocopy buku, harus ke perpustakaan, harus ke warnet dan segala keterbatasannya untuk belajar dan sukses. Di tengah keterbatasan ini, mereka orang tua melihat ini sebagai perjuangan.
Jadi, segala kemudahan dari AI sekarang, jangan sampai membuat kita menjadi malas, lemah berpikir dan ketergantungan. Kita juga sama-sama berjuang berjuang dari segala kemudahan yang membuat kita berhenti belajar.
Ketika kita berhenti belajar mengeksplor AI dan belajar hal-hal baru lainnya, kita akan tertinggal. Di luar ruangan ini ada orang yang sama-sama memperebutkan pekerjaan dari kampus lain dari daerah lain. Ada logika berpikir yang harus kita kembangkan dan ada situasi di mana AI tidak menyelesaikan segalanya.
Mari kita bersama-sama, menjadikan AI sebagai tempat belajar, tempat membantu pekerjaan kita, dan tempat kita terus berpikir kritis sebagai manusia terdidik. Jika kita bisa terapkan ini, kita akan menjadi generasi yang tidak menyusahkan bangsa, yang justru bisa berkontribusi dari FTIK untuk kemajuan teknologi pertanian, teknologi Kelautan, teknologi kesehatan dan teknologi pendidikan kita di masa depan.
Oleh karenanya, ia dapat digunakan untuk membuat konten pendidikan, personalisasi pengalaman belajar, serta peningkatan keterlibatan mahasiswa. Dengan begitu, proses pembelajaran dapat dijalankan secara lebih efektif dan efisien.
Pada lingkup mahasiswa, teknologi ini menjanjkan peluang untuk memaksimalkan pengalaman belajar secara personal mengingat kemampuannya dalam menyokong berbagai macam penugasan. Sokongan yang dapat diberikan Chat GPT antara lain ialah memudahkan pencarian informasi, menjawab pertanyaan dalam kuliah tertentu, hingga meningkatkan kualitas penulisan.
Sementara itu, pada tataran pengajar, teknologi ini dapat membantu dalam perancangan rencana pembelajaran, penyiapan materi ajar, penilaian tugas, serta pemberian umpan balik. Sehingga aktivitas yang kerap dilakukan secara rutin dapat jauh lebih mudah dilakukan.
Bahkan dalam aktivitas penelitian akademik, bahwa aplikasi ini dapat membantu seorang peneliti dalam menelurkan jalan penelitian secara metodologis, mulai dari identifikasi masalah hingga tahap analisis. Selain itu, mesin AI ini juga dapat digunakan untuk meninjau dan mengkritisi artikel yang ditulis dalam sebuah penelitian
Kendati demikian, ada resiko etis yang harus ditanggung dari penerapan teknologi AI semacam ini dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Resiko tersebut ialah tindakan plagiarisme.
Sebagaimana yang telah diketahui bersama, plagiarisme merupakan tindak pelanggaran (dishonesty) dalam kultur akademis. Secara umum pelanggaran tersebut mancakup perilaku menyimpang seperti mencontek, pemalsuan data penelitian, hingga kolaborasi menyimpang (unauthorized collaboration).
Dalam hal kolaborasi menyimpang, mahasiswa atau dosen kerap meminta bantuan pihak lain untuk menyelesaikan karya tulis, lantas mendaku tulisan tersebut sebagai karya orisinal miliknya. Sehingga fungsi dari pendidikan tinggi untuk mencetak kaum intelektual yang cerdas, terampil, dan berakhlak mulia menjadi terdegradasi. Dari sinilah resiko pemanfaatan AI Chat GPT dalam lingkup pendidikan tinggi perlu dicermati secara lebih mendalam.
Perlu diingat bahwa sistem pembuatan suatu karya tulis (e.g. esai) pada AI Chat GPT didesain berdasarkan penggunaan serangkaian kata kunci yang dapat dengan mudah diperintahkan oleh pengguna kepada chatbot. Dengan begitu, para oknum insan akademis dapat dengan mudah menggunakan sistem ini guna memplagiasi tulisan yang dibuat oleh mesin tersebut dan mendakunya untuk keperluan tugas kuliah atau bahkan karya ilmiah.
Lebih parahnya, pada masa sebelum AI berkembang, para oknum tersebut hanya bisa memanfaatkan jasa joki dengan membayar untuk melakukan kolaborasi menyimpang. Namun saat ini mereka bahkan bisa melakukannya secara gratis. Dahulu, resiko hanya ada bagi mereka yang memiliki kemampuan finansial, tapi sekarang semua beresiko karena kebebasan mengakses AI. Hal itu belum ditambah lagi dengan hasil tulisan AI yang begitu rupa tulisan manusia.
Jika kurang antisipatif terhadap penggunaan AI, akan sangat sukar misalnya bagi para dosen untuk mengukur pengetahuan dan kompetensi mahasiswa di dalam kelas. Sebab hasil pekerjaan yang dievaluasi tidak mencerminkan kemampuan sebenarnya dari mahasiswa bersangkutan. Situasi ini tidak dapat dipungkiri berpeluang menambah pekerjaan rumah bagi para pendidik untuk mengevaluasi perkembangan peserta didik, demi mencetak generasi emas yang berintegritas dan berdaya saing.(W9-jm)