Pj Kades Cangkingan Diduga “Kangkangi UU” Nomor 6 Tahun 2014

Indramayu – Keberadaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) semakin dikuatkan sebagai lembaga permusyawaratan di tingkat Desa. Namun hal itu tidak berlaku di Desa Cangkingan, Kecamatan Kedokanbunder, Kabupaten Indramayu, yang merupakan amanah dari UU Desa itu tidak berfungsi sesuai aturan, bahkan pengelolaan Dana Desa (DD) disinyalir syarat penyimpangan.

Akibatnya ratusan masyarakat Desa Cangkingan tersebut kompak menyatakan sikap tidak percaya (Mosi) terhadap Penjabat (Pj) Kepala Desa tersebut. Warga pun sepakat untuk menandatangani pernyataan Mosi tidak percaya terhadap Pemerintah Desa yang di pimpin oleh Pj Kades Edi.

Sebelumnya anggota BPD Sunarto, membenarkan jika pemerintah desa tidak partisipatif dan transparan terhadap BPD. “Bulan lalu ketua BPD menanyakan informasi pengelolaan dana desa dan program pembangunan desa. Katanya, nanti sedang di foto copy. Namun hingga saat ini tidak diberikan juga. Mungkin foto copy-nya di Amerika kali,” tegas Sunarto belum lama ini.

Padahal, lanjut dia, secara yuridis tugas Badan Permusyawaratan Desa mengacu kepada regulasi desa yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain itu merupakan lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan, anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.

Dalam upaya meningkatkan kinerja kelembagaan di tingkat Desa, pihaknya harus memperkuat kebersamaan, serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa memfasilitasi penyelenggaraan Musyawarah Desa.

“Dalam Permendagri No.110/2016 Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi, membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa, dan melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa,” bebernya.

Senada disampaikan Ketua Forum Masyarakat Cangkingan Ukrodi. Ia menduga Pemerintah Desa Cangkingan telah melanggar Undang-undang desa tahun 2014 pasal 26 ayat 4 bab II pasal 2, pasal 68 dan Permendagri no 113.

Seharusnya, lanjut dia, pemerintah desa mengedepankan prinsip akuntabel, transparan, serta bebas dari KKN dalam mengelola keuangan dana anggaran desa.

“Harusnya anggaran desa dapat memberikan kemakmuran kepada warganya, dan bukan kepada kelompok tertentu, seperti apa yang telah diamanatkan oleh UU dan peraturan,” tukasnya. (Tim/sai)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.