
Pesisir Barat, Warta9.com – Ketua DPD II Partai Golkar Pesisir Barat (Pesibar), Rahman Kholid, SH., MH., memberikan tanggapan tegas dan lugas terkait tuduhan yang dilontarkan oleh Anggota DPRD Lampung, Wahrul Fauzi Silalahi, mengenai dugaan pembiaran penyelundupan benih bening lobster (BBL) oleh aparat penegak hukum di Lampung.
Tuduhan tersebut menyatakan bahwa penyelundupan BBL sengaja dibiarkan oleh pihak kepolisian, khususnya di wilayah Pesisir Barat, dan bahwa pelaku penyelundupan memberikan upeti kepada kepolisian. Pernyataan ini menurut Rahman Kholid, tidak berdasar dan mencemarkan nama baik institusi penegak hukum.
Sebab kata dia, hingga saat ini, tidak ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa aparat penegak hukum di Lampung sengaja membiarkan penyelundupan BBL atau menerima upeti dari pelaku penyelundupan.
“Karena selama ini kami berjuang dan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum justru tindakan penegakan hukum harus dilakukan berdasarkan bukti yang jelas dan sesuai prosedur hukum yang berlaku,” kata Rahman Kholid, Rabu (18/12/2024).
Kebijakan larangan ekspor BBL memang memiliki tujuan yang baik untuk menjaga keberlanjutan ekosistem laut. Namun, kata Rahman, kebijakan ini juga harus mempertimbangkan kesejahteraan nelayan yang bergantung pada tangkapan benih bening lobster.
“Diperlukan pendekatan yang lebih seimbang agar kebijakan tersebut tidak hanya melindungi lingkungan tetapi juga memberikan manfaat ekonomi bagi nelayan,” ujar Rahman.
Menurut Rahman Kholid, sebagai anggota dewan, Wahrul Fauzi seharusnya mempertimbangkan fakta-fakta ilmiah tentang BBL dan realita kehidupan nelayan. “Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang tidak hanya berfokus pada satu aspek, tetapi juga mampu menciptakan keseimbangan antara keberlanjutan ekosistem dan peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan,” lanjutnya.
Rahman Kholid menambahkan, bahwa BBL bukan barang haram layaknya narkoba yang secara langsung merusak kehidupan masyarakat. “Peraturan yang mengatur tentang BBL saat ini menitikberatkan pada bagaimana mekanisme dari sisi bisnis seperti ekspor dan pendapatan negara. Oleh karena itu, mencurigai penegak hukum melakukan pembiaran atau menerima setoran sebagai wakil rakyat adalah tuduhan yang terlalu berlebihan,” tegas Rahman Kholid.
“Wakil rakyat adalah orang terpercaya yang sepatutnya berbicara berdasarkan fakta dan peraturan yang berlaku, bukan berdasarkan asumsi atau peraturan yang telah dicabut,” tambah Rahman.
Jika mau berasumsi mari kita ber asumsi secara ilmiah bahwasanya tingkat kelangsungan hidup BBL di laut sangat rendah, hanya sekitar 0,001%. Artinya, dari 1.000 benih bening lobster, hanya ada kemungkinan satu ekor yang bisa bertahan menjadi lobster dewasa, itupun baru kemungkinan. Lalu, bagaimana dengan 999 benih bening lobster lainnya yang tidak bertahan? Jika 999 benih bening lobster tersebut dimanfaatkan oleh nelayan, satu keluarga bisa hidup selama satu bulan. Dengan demikian, satu induk lobster yang bisa menghasilkan ribuan benih bening lobster dapat menghidupi ratusan keluarga nelayan.
Pertanyaannya adalah, apakah lebih baik membiarkan ribuan benih bening lobster tersebut mati di alam atau memanfaatkannya untuk kesejahteraan nelayan..?
Sejak laut ada kemungkinan laut Pesisir Barat sudah ada BBL, dan tidak semua laut di Indonesia ada BBL jika memang ada pengaruh signifikan karena diambilnya BBL oleh nelayan Pesisir Barat tentu ada fakta misal Lobster dulunya melimpah ruah dan sekarang menjadi berkurang. “Nyatanya tidak, hasil tangkapan nelayan terhadap lobster dewasa segitu begitu saja,” ujar Rahman Kholid.
Rahman Kholid menambahkan, memang Idealnya benih bening lobster (BBL) seharusnya dibudidayakan di dalam negeri untuk mendukung kemandirian dan keberlanjutan ekonomi lokal. Namun, ada sejumlah permasalahan yang menghambat implementasi budidaya ini di Indonesia. Salah satunya adalah kemampuan teknis kita yang masih terbatas. Mungkin saja kita belum sepenuhnya menguasai teknik budidaya BBL yang efektif dan efisien. Selain itu, kondisi laut Indonesia juga mungkin tidak mendukung optimalisasi budidaya BBL.
Faktor-faktor seperti suhu air, kualitas air, dan ekosistem laut yang ideal untuk budidaya lobster masih menjadi tantangan besar. Sebagai perbandingan, hanya Vietnam yang saat ini mampu melakukan budidaya BBL secara efektif dan konsisten. Mereka telah berhasil mengembangkan teknologi dan metode yang sesuai dengan kondisi laut mereka.
Oleh karena itu, sementara berusaha meningkatkan kemampuan dan infrastruktur budidaya di dalam negeri, perlu ada kebijakan yang mempertimbangkan realita ini serta memberikan ruang bagi nelayan untuk tetap mendapatkan manfaat ekonomi dari BBL, tanpa merugikan keberlanjutan ekosistem laut.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, telah dibuka kran ekspor BBL dengan persyaratan-persyaratan yang ketat. “Persyaratan ini hampir pasti hanya bisa dipenuhi oleh para pemodal besar dan tidak dapat dilaksanakan langsung oleh nelayan,” kata Rahman Kholid.
Ditambah lagi, prosedur ekspor harus melalui Badan Layanan Umum (BLU) Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan bisa saja menjadi biokrasi dan alur yang sulit buat pengusaha dan berbiaya sehingga menciptakan jalur jalur ilegal ini fakta, sehingga membuat kesimpulan hanya mempertimbangkan dari satu aspek saja kurang bijak.
Rahman Kholid berharap
agar Anggota DPRD Lampung Wahrul Fauzi dapat mempertimbangkan kembali pendapatnya dan berbicara berdasarkan fakta serta peraturan yang berlaku. agar tidak terkesan provokasi dengan tuduhan tuduhan palsu “Mari kita bersama-sama mencari solusi yang terbaik untuk kesejahteraan nelayan dan keberlanjutan ekosistem laut,” tutup Rahman Kholid. (W9-jm)