Menjajal BAWASLU Agar Progresif, oleh : Wendy Melfa*

 

Pengantar
Warta9.com – Tahapan Pemilu 2024 telah dan sedang berjalan, ditandai dengan diseleksi dan dilantiknya organ penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sampai pada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), yang masing-masing organ pun telah dan masih melengkapi perangkatnya.

Direncanakan KPU Provinsi dilantik serentak bulan Mei 2023, sedangkan KPU dan Bawaslu Kabupaten/Kota dilantik sebelum bulan Juli 2023, sampai ke tingkatan terendah sesuai dengan “jangkauan” wewenangnya, sebelum Pemilu 14 Februari 2024.
Setiap organ tersebut diharapkan dapat optimal menjalankan fungsi dan kewenangannya dalam upaya kita menjaga “martabat” dan “marwah” Pemilu dengan sebaik-baiknya sebagai mekanisme demokrasi dan ketatanegaraan kita dalam mewujudkan kedaulatan rakyat.

Tentu saja didalam menjalankan fungsi dan kewenangan organ penyelenggara pemilu tersebut, dibatasi, diatur, sekaligus diberikan kekuasaan untuk menggunakan kewenangannya berupa peraturan perangkat hukum, dari UU sampai dengan peraturan yang mengikat secara internal organ masing-masing sebagai “code of conduct” sebagai regulasi penjaga (watch dog) agar kinerja dan keluaran produk dari organ tersebut sesuai dengan nilai-nilai penyelenggaraan pemilu yang memenuhi asas langsung, umum, bebas, rahasia (luber) juga jujur dan adil (jurdil), sekaligus juga konsekuensi asas legalitas negara hukum.

Mewujudkan asas luber dan jurdil, bukan saja menjadi tugas dan wewenang organ penyelenggara pemilu. Namun juga semua stake holder yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu, termasuk masyarakat umumnya, juga partai politik dan atau perseorangan yang (kemudian) akan ditetapkan sebagai kontestan pemilu, sebagai calon yang diusung parpol (calon Presiden/Wakil Presiden, calon DPR RI, calon Kepala Daerah), atau perseorangan (calon DPD dan Calon Kepala Daerah dari jalur perseorangan), sampai dititik ini, nampaknya ada “ruang waktu” yang belum bisa dijangkau oleh organ pemilu, khususnya Bawaslu dalam kerangka “menjaga ketertiban” pemilu dan “perlakuan adil” yang berlaku kepada semua peserta kontestasi pemilu, sebelum dinyatakan secara sah sebagai kontestan pemilu 2024.

Keadilan Substantif Melalui Hukum Progresif
Keinginan “menertibkan” (calon) kontestan pemilu, terkendala dengan ketentuan bahwa terhadapnya belum dapat dilakukan “pembinaan” untuk dilakukan penindakan sekaligus sanksi atas perilaku yang dianggap melanggar etik dan ketentuan regulasi ke-pemiluaan, karena terhadapnya (belum) dapat dinyatakan sebagai kontestan pemilu yang dapat dijadikan objek penertiban. Padahal kiprah dan atau perilaku yang bersangkutan (sudah) dapat dikatagorikan memasuki ranah regulasi pemilu, ada ruang kekosongan hukum, dimana seolah hukum secara legalitas, secara prosedur, tidak dapat menjangkau objek hukum tersebut, tidak ada pembinaan apalagi penindakan terhadap mereka yang belum menjadi objek ketentuan hukum, meskipun dirasa ada perbuatan yang dapat dikatagorikan pelanggaran, prosedur hukumnya belum tercapai, hukum dipahami sebagai pemenuhan rasa keadilan prosedural, belum pada tataran keadilan substantif.

Sutjipto Rahardjo, begawan dan sosiolog hukum Universitas Diponegoro, mengatakan: Cara pandang hukum yang masih didominasi “berhukum dengan peraturan” dibandingkan dengan “berhukum dengan akal sehat” adalah memperlakukan hukum secara minimalis, yaitu cara menerapkan apa yang tertulis dalam teks perundangan tanpa memperhatikan jiwa dan roh (consciense) hukum itu sendiri.

Supremasi hukum seperti itu adalah supremasi hukum yang lebih mengutamakan bentuk daripada isi. Legalitas menjadi prinsip dasar yang berpotensi tidak mempedulikan etika dan moral, dan hanya akan menghadirkan keadilan formal. Ketika kita menempatkan hukum dalam cara pandang aturan/legalitas tertulis yang sempit sebagaimana dinyatakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut, maka seakan kewenangan Bawaslu ibarat longlongan anjing penjaga, tanpa dapat memberikan “tindakan” apapun atas pelanggaran etik dan regulasi pemilu oleh (calon) kontestan pemilu yang sampai saat ini belum ditetapkan sebagai kontestan pemilu. Dan itu waktunya cukup panjang, at least sampai September 2023 yang akan datang, bukan waktu yang sebentar, dan sepanjang itu dapat saja terjadi pelanggaran-pelanggaran, yang bukan saja melanggar “regulasi” tetapi sekaligus juga dapat menimbulkan rasa tidak adil kepada sesama (calon) kontestan pemilu yang merasa “belum” mampu untuk berbuat seperti yang dibuat oleh mereka (yang dianggap) melanggar.

Philippe Nonet dan Philip Selznik melalui teorinya yang fenomenal : Teori hukum responsif, hukum menawarkan solusi alternatif sesuatu yang lebih dibandingkan hanya menyelenggarakan keadilan prosedural. Hukum yang baik harus berkompeten serta memenuhi keadilan; sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik yang punya komitmen demi tercapainya keadilan substantif.

Langkah Terbuka
Bersandar pada dua teori hukum tersebut, pada prinsipnya Bawaslu dapat bekerja menjalankan fungsinya untuk “menertibkan” para (calon) kontestan Pemilu 2024 demi menjaga marwah asas dan rasa keadilan penyelenggaraan Pemilu 2024 dimulai dari saat ini, meskipun belum ada kontestan yang sudah ditetapkan, bukan dengan pendekatan aturan yang memenuhi aturan legalistis (baca: tertulis), namun dengan pendekatan lain, contohnya dengan mempublikasikan (calon) kontestan yang “dinyatakan” memenuhi unsur pelanggaran aturan Pemilu dengan memberikan sanksi berupa publikasi ke ruang publik bahwa perbuatan (calon) kontestan Pemilu 2024 ini dapat dikatagorikan pelanggaran aturan Pemilu manakala dirinya kelak ditetapkan sebagai kontestan Pemilu apabila perbuatan yang sama dilakukan setelah dirinya ditetapkan sebagai kontestan (tidak berlaku surut, asas retroaktif). Jadi semacam ilustrasi yang memberikan pendidikan politik kepada masyarakat luas, sekaligus diharapkan memberikan efek “rasa malu” kepada (calon) kontestan bahwa pada substansinya perbuatan dirinya tersebut diketahui publik dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran aturan Pemilu, meskipun unsur peserta (resmi) belum terpenuhi dalam kerangka penegakan aturan Pemilu.

Inilah substansi dari bekerjanya salah satu fungsi Bawaslu untuk menegakkan aturan Pemilu menurut perspektif mewujudkan keadilan substantif ketimbang keadilan prosedural demi menjaga asas Luber dan tegaknya marwah Pemilu serentak 2024, tidak mati langkah, dan selalu terbuka langkah untuk itu. (*Direktur Badan Saksi Nasional PG Wilayah Lampung Anggota Dewan Pakar MPW KAHMI Lampung)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.