Penghapusan Jabatan Gubernur : Gagal Paham atau Revolusi Konstitusi, oleh : Dr. (Cand) Wendy Melfa, SH, MH*

Pengantar

Warta9.com – Kembali menjadi perbincangan, pasca munculnya beragam tanggapan atas pandangan Muhaimin Iskandar (Cak Imin), Ketua Umum PKB yang juga Wakil Ketua DPR RI yang melontarkan usul, perlunya jabatan Gubernur untuk dihapuskan. Salah satu alasannya karena Gubernur tidak terlalu berfungsi dalam tatanan pemerintahan, karena tidak terlalu fungsional dalam jejaring pemerintahan, fungsi Gubernur terlampau tidak efektif, anggarannya besar, tapi tidak langsung tidak mempercepat, sosok Gubernur tidak lagi didengar oleh para Bupati karena mereka lebih mengandalkan Menteri. Bahkan Cak Imin mengatakan bahwa pihaknya sedang mematangkan ini dengan ahli dan mengusulkan agar DPR membentuk tim untuk membentuk tim untuk mengkaji usulannya (Kompas.com, 30/1/23).

Pernyataan politik Cak Imin ini nampaknya bukan sekedar pesan politik ringan, telah melalui pengamatan, ada pembahasan bersama ahli, bahkan “mendorong” DPR untuk mengkaji usulannya. Murni menyoal jabatan dan fungsi Gubernur atau ada agenda lainkah dibalik “usul Cak Imin” ditahun politik ?.

Landasan Konstitusi Pemerintah Daerah
Indonesia menganut pemisahan kekuasaan menjalankan pemerintahan dengan memisahkan pada cabang eksekutif (Presiden), legislatif (DPR), dan yudikatif (MA) dengan prinsip check and balances penyelenggaraan pemerintahannya. Sebagai negara kesatuan berbentuk republik, dalam menjalankan kekuasaan pemerintahannya, Presiden (eksekutif) membagi kewenangan penyelenggara pemerintahan di daerah melalui desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan dengan asas otonomi daerah kepada Pemerintahan Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD (bukan badan legislatif).

Adanya daerah Provinsi dengan kepala pemerintah daerahnya disebut Gubernur diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945: Indonesia sebagai negara kesatuan dibagi atas daerah-daerah provinsi. Selanjutnya daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan kota yang mana tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota tersebut memiliki pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. (jo. Pasal 2 (1) UU 23/2014). Dan ayat (2): Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Adanya pengaturan tersebut menegaskan bahwa jabatan Gubernur adalah konstitusional, sebagai kepala pemerintah daerah, menjalankan fungsi pemerintahan daerah bersama-sama dengan DPRD yang merupakan bagian kewenangan bidang pemerintahan eksekutif dari Presiden sebagai kepala pemerintahan pusat melalui desentralisasi kekuasaan dengan asas otonomi daerah.

Keberadaan DPRD sebagai bagian Pemerintahan Daerah secara tegas diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UUD 1945: Pemerintahan Daerah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. (Jo. Pasal 1 (2) UU 23/2014). Penyelengara pemerintahan daerah provinsi adalah dwi tunggal antara Gubernur dan DPRD, menghapuskan jabatan Gubernur sama saja menghapus salah satu unsur dari dwi tunggal pemerintahan daerah provinsi, lantas pertanyaannya, siapa yang akan menjalankan fungsi dan kewenangan Kepala Daerah yang akan menjalankan pemerintahan daerah di daerah provinsi ?, sampai disini, berdasarkan landasan konstitusi, hukum, dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi sebagai bagian dari negara kesatuan berbentuk republik ini menjadi “gagal paham” dengan usulan penghapusan jabatan Gubernur.

Dalam pernyataan yang sama, Cak Imin mengatakan; “penghapusan pemilihan langsung Gubernur adalah karena prosesi tersebut melelahkan”, Pemilu dibatasi pada pemilihan Presiden (Pilpres) serta pemilihan Bupati (Pilbup) dan pemilihan walikota (Pilwakot) (Kompas.com, 30/1/23).

Jabatan Gubernur dengan mekanisme pengisian jabatan Gubernur adalah dua hal yang berbeda, terdapat landasan konstitusi dan hukum serta narasi fungsi, wewenang, dan legitimasi yang berbeda. Apabila ada pendapat atau analisa yang berbeda dengan mekanisme pengisian jabatan Gubernur, bukan berarti serta merta lantas kita “mendorong” untuk hapusnya jabatan Gubernur, karena itu sesuatu yang berbeda dan tetap terbuka perdebatannya, meskipun telah ditegaskan oleh konstitusi kita dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.

Melalui Putusan Mahkamah Konsitusi RI, menerjemahkan “demokratis” tersebut dengan menyerahkan kewenangan model pemilihan apakah secara langsung atau melalui demokrasi perwakilan kepala UU yang akan menentukan model demokrasi yang akan diterapkan, dan UU 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, menyatakan mekanisme pengisian jabatan Gubernur diselenggarakan dengan cara pemilihan langsung.
Bahwa masih ada Bupati dan Walikota yang menurut Cak Imin: “Sosok Gubernur tak lagi didengar oleh para Bupati karena mereka lebih mengandalkan Menteri” (Kompas.com), kasus serupa inipun tidak lantas menjadi alasan yang cukup untuk menghilangkan jabatan Gubernur, jika Bupati/Walikota itu “berakselerasi” dengan pemerintah pusat dalam kerangka eksekusi program, itu merupakan “Shortcuts” saja.

Tetapi manakala Bupati/Walikota memahami makna prasa “daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan kota” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUD, juga banyak ketentuan lain berkaitan dengan fungsi dan kewenangan Gubernur yang menjalankan tugas sebagi “wakil” pemerintah pusat, koordinasi antar kabupaten/ kota, tentukan hubungan dan koordinasi antara Bupati/Walikota dengan Gubernur akan semakin solid dan mantap sebagai satu kesatuan pemerintah yang menjalankan pemerintahan sesuai dengan proporsi wilayah dan kewenangannya tanpa sedikitpun harus terganggu dengan legitimasi politik dan hukum sebagai Kepala Daerah yang sama-sama dipilih langsung oleh rakyatnya, hal-hal seperti ini juga yang menjadikan kita lagi-lagi gagal paham.

Gagal Paham atau Revolusioner
Dinamisnya berbagai hal memasuki tahun politik ini, membuat kita tidak lantas mudah memahami persoalan yang dilontarkan oleh para politisi, apalagi seorang Cak Imin termasuk politisi yang fenomenal sejak era Presiden Gus Dur hingga saat ini, kita bisa gagal paham apabila memahami pernyataan itu secara “telanjang”, dan juga bisa mengkatagorikan pernyataan ini adalah sesuatu visi revolusioner.

Mengingat begitu banyak akan “menabrak” aturan yang secara tegas tertuang dalam konstitusi maupun peraturan perundangan lainnya, belum lagi bila dilihat dari bukan hanya sisi teknis tetapi philosofis dan substansi dari kehadiran jabatan Gubernur dengan fungsi dan wewenangnya untuk menjalankan pemerintahan di daerah provinsi yang merupakan bagian dari negara kesatuan republik Indonesia. Atau bisa saja pernyataan penghapusan jabatan gubernur ini adalah sebagai pintu masuk dari sebuah “gerakan” politik elektoral memasuki tahun politik jelang Pemilu 2024, jangan buru-buru untuk memastikan, karena jawaban yang sesungguhnya hanya diketahui seorang Cak Imin yang dapat “dibaca” pada langkah selanjutnya, bukan langkah “skakmat” seperti dalam permainan bidak catur. *(Direktur Badan Saksi Nasional PG Wilayah Lampung, Dewan Pakar ICMI Orwil Lampung, Dewan Pakar MPW KAHMI Lampung)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.