Akademisi Unila : Perlu Regulasi antara Petani Singkong dan Pengusaha

Bandarlampung, Warta9.com – Acara Coffee Morning yang dihadiri langsung oleh Gubernur Lampung Ir. Arinal Djunaidi, berkembang diskusi mengenai kakao dan singkong.

Coffee Morning yang dilaksanakan di Bank Indonesia (BI) Perwakilan Lampung, Bandarlampung, Rabu (19/2/2020), mengambil “Peningkatan Produktivitas dan Hilirisasi Kakao dan Ubi Kayu”.

Kuswanta dari Fakultas Pertanian Unila, menjelaskan, bahwa Lampung merupakan penghasil ubi kayu dunia. Namun, produksi ubi kayu Lampung secara genetik mampu menghasilkan lebih dari 25 ton per hektare. “Secara genetik ubi kayu kita mampu memproduksi lebih dari 25 ton per hektar. Untuk itu, kita harus mengupayakan bagaimana tanaman ubi kayu kita dapat seperti yang diharapkan,” jelas Kuswanta.

Menurut Kuswanta, salah satu yang menjadi permasalahan kurangnya hasil produktivitas ubi kayu petani adalah terkait pengaturan waktu tanam, dan kurangnya sinergitas dengan para pengusaha, sehingga kurang sesuainya kapasitas pabrik dengan hasil produktivitas. “Untuk mengatasi ini maka diperlukan regulasi antara petani dan pengusaha,” jelasnya.

Sementara itu, petani ubi kayu dari Kabupaten Tulang Bawang Lauri menjelaskan bahwa dirinya bersama petani hanya mengetahui bagaimana menghasilkan ubi kayu dengan maksimal, dengan melakukan pengolahan lahan, dan penggunaan pupuk. Selama ini hanya mampu menghasilkan 25 ton per hektare.

“Kami hanya mengupayakan itu, belum mampu memaksimalkan hasil ubi kayu dengan maksimal. Untuk itu, kami para petani berharap adanya pembinaan dari dinas terkait dan para pengusaha, sehingga kami mampu memaksimalkan produktivitas, dan mendapatkan harga jual yang tinggi,” jelas Lauri.

Sedangkan Riswanto, petani kakao dan Pendiri Pusat Pelatihan Pertanian Swadaya (P4S) di desa Banjar Agung, Kecamatan. Sekampung Udik, Lampung Timur, menjelaskan bahwa peran Pemerintah sangat besar dalam pengembangan kakao. Di antaranya melalui program intensifikasi, rehabilitas, dan reflanting. Namun yang menjadi kelemahan ketika pemerintah mendorong penyaluran bibit yang kurang tepat pada saat musim tanam.

“Secara umum, umur kakao di Lampung juga sudah tua yaitu di atas 20 tahun, sehingga tidak mungkin bisa mempertahankan kondisi karena produktivitas yang menurun,” kata Riswanto.

Penurunan produktivitas ini, lanjut Riswanto, juga disebabkan tingginya hama penyakit, alih fungsi lahan, dan minat petani muda untuk bertani kakao.
Untuk itu, menurutnya, diperlukan dukungan Pemerintah untuk meningkatkan produktivitas kakao, termasuk pengembangan sumber daya manusianya. (W9-jam)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.