Kedaulatan Rakyat VS Kedaulatan Partai, oleh : Wendy Melfa*

 

Pengantar
Warta9.com – Memasuki awal tahun politik 2023, panggung politik sedikit terganggu oleh “khabar” yang menimbulkan ketidakpastian politik atau persisnya keraguan politik akan sistem politik pemilihan calon anggota legislatif pada Pemilu 2024 yang akan datang. Akankah terjadi perubahan sistem politik dari sistem proporsional terbuka, kembali ke sistem proporsional tertutup.

Khabar yang menimbulkan keraguan itu pertama kali dikhabarkan oleh Ketua KPU RI dalam sambutannya dalam suatu acara di Jakarta dipenghujung tahun 2022 lalu, yang menceritakan saat ini sedang dalam proses gugatan Pengujian Undang-Undang (PUU) di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh sejumlah masyarakat terhadap ketentuan Pasal 168 ayat (2) UU 7/2017 Tentang Pemilu, apabila PUU tersebut dikabulkan oleh MK maka akan terjadi perubahan sistem Pemilu Legislatif dari proporsional terbuka (pilih calon anggota legislatif dan/Parpol) kembali ke sistem proporsional tertutup (hanya pilih Parpol). Ditambah lagi dengan keterangan berita, seolah ingin menguatkan keyakinannya dengan mengatakan, kepada calon anggota legislatif yang akan mengikuti Pemilu 2024 untuk jangan buru-buru memasang alat peraga (baliho, banner, spanduk dll) sebagai sarana komunikasi politik caleg kepada warga masyarakat, “tahan, jangan buru-buru dulu” … begitu khabar dari sang Ketua KPU yang merupakan orang nomor satu penyelenggara Pemilu, dengan dilandasi “seandainya” permohonan PUU tersebut dikabulkan oleh MK.

Khabar yang dibawa oleh Ketua KPU ini sontak menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan masyarakat, Akademisi, Parpol, dan kalangan DPR RI, tentu ada pro dan kontra berkaitan dengan sistem politik Pemilu Anggota Legislatif pada Pemilu 2024. Ketua Komisi II yang membidangi Pemilu, menyatakan hasil komunikasi dengan fraksi-fraksi DPR RI, mayoritas (8 fraksi) tetap menginginkan berlakunya sistem proporsional terbuka, dan pada minggu 8/1 sebanyak 8 Parpol (Partai Golkar, Partai Gerindra, PKB, PAN, Partai Nasdem, Partai Demokrat, PKS, dan PPP) dengan diinisiasi oleh Ketum Partai Golkar mengadakan pertemuan dan menghasilkan 5 sikap, yang pada intinya berpandangan menginginkan tetap berlaku sistem Pemilu Anggota Legislatif pada Pemilu 2024 dengan sistem proporsional terbuka. Berkomitmen tetap menjaga dan memajukan demokrasi Indonesia, menyerahkan kedaulatan kepada rakyat untuk memilih calon Anggota Legislatif yang akan menjadi perwakilan di lembaga perwakilan (parlemen/DPR-D), bukan menyerahkan kedaulatan kepada Partai untuk “menentukan” siapa yang duduk di lembaga perwakilan (parlemen/DPR-D), karena rakyat hanya memilih Parpol pada Pemilu dengan sistem proporsional tertutup.

Sistem Politik Berlandaskan Kedaulatan Rakyat dan Hukum
Sistem politik yang diterapkan pada Pemilu adalah pilihan dan konsensus nasional cara berdemokrasi dalam mewujudkan kedaulatan rakyat, yang di Indonesia diselenggarakan setiap 5 tahun sebagai siklus kepemimpinan nasional dan daerah secara serentak. Sistem politik Indonesia dilandasi oleh filosofi kedaulatan Indonesia yaitu Sila ke 4 dari Pancasila dan hukum yang dijadikan landasannya, yaitu UU yang mengatur tentang Pemilu (saat ini UU 7/2017 Tentang Pemilu), bukankah hukum itu merupakan resultante proses politik. Sesuai keputusan Pemerintah dan DPR RI, bahwa untuk Pemilu 2024 nanti Indonesia tetap menggunakan UU Politik yang berlaku (termasuk UU 7/2017) tanpa ada perubahan, dan terhadap Pasal 168 ayat (2) UU 7/2017 itulah yang saat ini sedang dalam proses PUU di MK, yang menurut para pemohon PUU, pasal tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Secara imajiner, mencoba membaca pikiran “perkiraan” sang Ketua KPU dan para pemohon PUU yang saat ini dalam proses persidangan, rasanya tertutup kemungkinan untuk dikabulkan dengan memperhatikan beberapa “handicap” dari perubahan sistem Pemilu untuk mengisi keanggotaan Legislatif dengan sistem proporsional terbuka untuk kembali ke sistem proporsional tertutup, diantaranya: pertama; Berlakunya sistem proporsional terbuka dilandasi oleh Putusan MK Nomor 22-24/PUU-IV/2008 pada tanggal 23 Desember 2008 yang dijadikan landasan perubahan UU Pemilu yang memberlakukan sistem proporsional tertutup sebagaimana berlaku pada Pemilu-Pemilu sebelumnya. Akankah MK bertindak inkonsistensi dengan putusannya sendiri dengan membuat putusan yang berbeda dengan putusan MK yang sebelumnya ? pada titik ini, seandainya pun terjadi, maka konsideran putusan tersebut akan sangat menjadi perhatian dan pertimbangan dalam perspektif keadilan, kemanfaatan , dan kepastian hukum secara akademik maupun rasa keadilan masyarakat.

Kedua; cara berdemokrasi yang menjadi pilihan rakyat akan menjadi ukuran kedaulatan rakyat, apakah rakyat dapat secara langsung menggunakan hak konstitusional untuk memilih calon anggota Parlemen yang akan menjadi wakilnya untuk mewakili kepentingan rakyat pemilihnya melalui nama-nama calon legislatif yang diusulkan oleh Parpol tanpa ditentukan nomor urutnya oleh Parpol (proporsional terbuka), atau rakyat “menitipkan” hak konstitusional kepada Parpol dengan hanya memilih Parpol pada surat suara pada Pemilu, selanjutnya “kekuasaan” Parpol yang sebelumnya telah menetapkan nomor urut calon Legislatif untuk menentukan sampai urutan ke berapa dari nama-nama tersebut berdasarkan pilihan rakyat kepada Parpol yang bersangkutan pada Pemilu.

Kecenderungan cara berdemokrasi yang saat ini menjadi pilihan rakyat, nampaknya dominan pada pilihan kepada orang-orang (tanpa nomor urut) yang disuguhkan oleh Parpol untuk mendapat amanah untuk mewakili rakyat pada lembaga perwakilan (Parlemen), kecenderungan ini ada pada Pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Akankah putusan MK “berseberangan” dengan kecenderungan pilihan rakyat kebanyakan ?

Ketiga, secara teknis yuridis berlakunya suatu Putusan MK, harus diikuti oleh perubahan UU yang menjadi landasan sistem politik yang akan diberlakukan pada Pemilu 2024. Apabila, seandainya, perkiraan Ketua KPU itu benar dan MK mengeluarkan Putusan yang mengabulkan permohonan PUU tersebut, dan akan diberlakukan pada Pemilu 2024, maka harus diikuti dengan perubahan UU 7/2017 Tentang Pemilu. Menurut UUD 1945, membuat dan atau perubahan UU ada 2 cara, yaitu (1) melalui pembahasan dan keputusan bersama antara DPR RI (Legislatif) dan Presiden (Eksekutif), tentu cara ini membutuhkan mekanisme dan waktu yang panjang, cukup waktu kah untuk diberlakukan pada Pemilu 2024 ?, atau dengan cara ke (2), Presiden dengan kewenangannya berdasarkan UUD 1945 menerbitkan Perpu untuk mengganti seluruhnya atau sebagian ketentuan UU Tentang Pemilu, yang kemudian Perpu tersebut mendapatkan persetujuan DPR RI untuk diberlakukan sebagai UU, ini juga bukan hal sederhana.

Gaduh Mendahului Putusan MK
Membaca narasi dan alasan-alasan yang dijadikan landasan suatu Pengujian Undang-Undang (PUU) yang sedang berproses di Mahkamah Konstitusi sebagai langkah antisipasi kemungkinan-kemungkinan hukum adalah hak dan merupakan kecerdasan untuk dapat digolongkan mampu membaca tanda-tanda zaman. Namun penggunaan hak dan kecerdasan itu sendiri harus secara proporsional dan profesional digunakan, apalagi kapasitas diri kita dibatasi oleh UU. Dalam perspektif Pemilu, KPU adalah penyelenggara Pemilu, penerap UU Politik, melaksanakan apa yang menjadi ketentuan UU (penerap hukum dalam arti UU). Seandainya penggunaan hak dan kecerdasan itu digunakan sebagai antisipasi diinternal tugas dan tanggungjawabnya, maka itu kebijakan. Namun manakala digunakan secara “kegenitan” dengan membicarakannya kepada publik, dan mendapatkan respon luas dari masyarakat pro dan kontra, termasuk menimbulkan keragu-raguan, maka ini dapat dikatagorikan tindakan gegabah dari pejabat utama penyelenggara Pemilu. Kembalilah ke khitah tugas pokok dan fungsi sebagai penyelenggara Pemilu yang mengawal dan melaksanakan Pemilu secara fairness serta berharap kualitas yang baik sebagai hasil karya penyelenggaraan Pemilu 2024, jangan bermain politik atau terseret permainan politik dari mereka yang punya kepentingan politik yang berbeda dengan terselenggaranya Pemilu 2024 dengan asasnya langsung, umum, bebas, dan rahasia.
(*Direktur Badan Saksi Nasional PG Wilayah Lampung
Dewan Pakar ICMI Orwil Lampung
Dewan Pakar MPW KAHMI Lampung)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.