Pilkada September untuk Siapa ? Oleh : Wendy Melfa*

Pengantar

Sebuah keniscayaan bahwa menurut UU 10/2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota waktu pemungutan suara Pilkada serentak akan dilaksanakan bulan November 2024. Amanah UU inipun telah “dipatuhi” oleh para stake holders pembuat kebijakan yaitu DPR RI (Komisi II), Pemerintah RI (Mendagri), Penyelenggara Pemilu (KPU RI, Bawaslu RI, DKPP RI) pada bulan Januari 2022 lalu dengan membuat “kesepakatan” dalam rapat kerja Komisi II yang menentukan waktu pemungutan suara untuk pemilu nasional ditetapkan pada 14 Februari 20024, dan Pilkada 27 November 2024. Kesepakatan ini menjadi “undang-undang pelaksana” turunan dari bunyi UU tentang Pilkada.

Pasca kesepakatan Januari tersebut, perhatian Partai Politik, Politisi, pengamat politik, dan semua pihak yang berkepentingan dengan pemilu serentak fokus tertuju pada waktu pemungutan suara yang tanggal dan bulannya sudah diatur serta ditentukan hingga menjadi legitimate sebagai landasan hukum pemilu serentak 2024. Publik percaya bahwa landasan hukum itu telah dihitung dan dipersiapkan secara cermat oleh mereka yang mendapatkan delegasi dipercaya oleh publik untuk menghitung, menata, mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan hajat demokrasi sebagai wujud kedaulatan rakyat dengan sebaik-baiknya, dan untuk tugas itulah mereka ditugaskan rakyat sekaligus dengan kehormatan dan anggarannya.

Pilkada September
Hadirnya wacana Pilkada September telah membuka cakrawala berpikir baru tentang waktu pemungutan suara untuk pelaksanaan pilkada serentak 2024 dengan berbagai narasi dan pertimbangan teknis, utamanya dikaitkan dengan 2 hal.

Pertama, membentuk pemerintahan baru serentak ditahun yang sama, dalam konteks pilkada untuk membentuk pemerintah daerah secara serentak (ditahun yang sama) dengan asumsi hasil pemilu memilih anggota DPRD dilantik dibulan Oktober 2024, maka apabila Pilkada pemungutan suaranya September, hasilnya dapat dilantik dibulan Desember 20024, dengan mempertimbangkan apabila adanya gugatan hasil Pilkada ke MK.

Pada titik tujuan ini, maka sebaiknya disatukan saja waktu pemungutan suara untuk memilih Kepala Daerah dan Anggota DPRD pada tanggal dan bulan yang sama dalam pemilu lokal, bukankah hal ini juga sudah direkomendasikan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 55/PUU-XVII/2019 tentang opsi pemilu serentak yaitu, pemilu nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/ Wakil Presiden; dan pemilu lokal untuk memilih Kepala Daerah dan anggota DPRD.

Kedua, dengan mempertimbangkan bahwa proses tahapan Pilkada diawali dari pendaftaran calon, sampai berakhirnya ketika pemenang Pilkada dilantik. Apabila waktu pemungutan suara dilaksanakan bulan November, maka jika terdapat gugatan hasil Pilkada ke MK, pelantikan pemenang pilkada tidak dapat dilaksanakan pada bulan Desember 2024, dan kemungkinan baru dapat dilantik pada Januari 2025. Oleh karena itu, masih dapatkah disebut sebagai Pilkada serentak 2024 sebagaimana diamanatkan UU Pilkada ?.

Pilkada September dihitung sebagai solusi atas “tidak cermatan” para pembuat kebijakan sebelumnya, dengan tambahan narasi bahwa hal ini justru baik dan menguntungkan utamanya Partai Politik sebagai main stream yang paling berkepentingan dalam Pilkada, semisal bila ada kader partai yang akan disertakan sebagai calon Pilkada dirinya tidak perlu mengundurkan diri apabila telah terpilih sebagai anggota DPR/DPRD karena pelantikan anggota DPR/DPRD itu sendiri dijadwalkan bulan Oktober 2024, dapat menghilangkan syarat anggota DPR/DPRD sebagai peserta Pilkada harus mengundurkan diri dari keanggotaan DPR/DPRD nya.

Solusi Hukum
Pergeseran waktu pemungutan suara pilkada dari November ke September (wacana) bukan tanpa menimbulkan persoalan hukum, legitimacy pelaksaan pemungutan suara pilkada dipertaruhkan yang berdampak pada legitimacy hasil pilkada, dan Kepala Daerah yang tidak legitimate. Pilkada sebagai sarana kedaulatan rakyat, perlu diikuti oleh legitimacy proses dan hasilnya sesuai dengan hukum (UU) sebagai wujud kedaulatan hukum, hal ini konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum.

Mengacu teori hukum responsif (Nonet dan Selznik) juga teori hukum progresif (Satjipto Rahardjo), pendekatan tekstual hukum melihat bunyi UU hanya akan mengedepankan keadilan prosedural serta tidak mempu menghadirkan keadilan substantif. Supremasi hukum bersifat substantif, bukan hadir untuk kepentingan hukum semata (tekstual), tetapi untuk kepentingan manusia.

Terlepas dari “kecerobohan” yang menyebabkan abai tentang penghitungan waktu secara teknis para pembuatan kebijakan sebelumnya, baik ketentuan bulan November pada UU Pilkada maupun “pembuat kesepakatan” tentang hari dan bulan waktu pemungutan suara pilkada 2024, bila dipertimbangkan dan dihitung manfaat dan kebaikan untuk kepentingan manusia pergeseran waktu pemungutan suara pilkada dari November ke September 2024, maka pilihannya adalah, kita abaikan ketentuan tekstual UU pilkada, tentu dengan cara hukum.

Menegakkan hukum tidak dengan cara melanggar hukum, mendapatkan legitimacy pilkada baik secara politik maupun hukum dengan cara tanpa melawan hukum. Oleh sebab itu, ketentuan tekstual tentang waktu pilkada serentak ditentukan bulan November menurut UU Pilkada, dapat kita perbaiki dengan ketentuan baru (September) melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) yang dibuat dan ditandatangani oleh Presiden RI, dan kita masih punya waktu untuk itu, semoga. *Pengasuh RuDem (Ruang Demokrasi) Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum UNILA.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.