Politik dan Bola : Diskresi “Sikap Politik”, oleh : Wendy Melfa*

 

Pengantar
Pupus sudah harapan Indonesia bisa menjadi tuan rumah perhelatan internasional sepak bola U-20 “The 2023 FIFA U-20 World Cup”, setelah FIFA melalui situs resminya (29/3), menyatakan bahwa Indonesia tidak lagi menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20.

Sebuah perhelatan olahraga tingkat dunia yang bergengsi, yang diusulkan dan dipersiapkan oleh Indonesia sejak tahun 2019, dihentikan oleh FIFA, dalam bahasa Perancis: Federation Internationale de Football Association atau Federasi Sepakbola Internasional hanya tenggat dua bulan sebelum tanggal pelaksaan, dengan alasan tersurat : “Karena keadaan saat ini, FIFA menghapus Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023. Tuan rumah baru akan diumumkan sesegera mungkin, dengan tanggal turnamen saat ini tetap tidak berubah. Potensi sanksi terhadap PSSI juga dapat diputuskan pada tahap selanjutnya,” demikian situs resmi FIFA mengatakan.

Keputusan FIFA ini tentu mengagetkan Indonesia, persiapan teknis dan nonteknis dari tim sepak bola nasional yang akan berlaga pada event dunia yang tertunda, terbayang harapan yang hilang dari meriahnya “panggung” Indonesia dimata internasional dari perhelatan olahraga yang paling banyak ditonton oleh masyarakat Indonesia dan dunia internasional. Persiapan infrastruktur dan berbagai kelengkapannya yang tidak sedikit memakan biaya, rencana pendapatan devisa negara yang batal dari berbagai sektor pendukung penyelenggaraan piala dunia U-20 2023, masih banyak hal yang dapat diinventaris dampak dari batalnya event internasional tersebut bagi Indonesia, yang membuat masyarakat sepak bola Indonesia khususnya, dan bangsa Indonesia umumnya menjadi kecewa.

Asap dan Api
Bila kita perhatikan seksama alasan FIFA melalui laman situs resminya, tidak nampak satupun alasan spesifik yang disebutkan oleh FIFA untuk membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah, hanya diksi “karena keadaan saat ini”, pernyataan yang multi tafsir yang menyebabkan publik jadi menduga-duga ada apa, ada peristiwa apa sebelumnya ?. Yang namanya menduga-duga, bisa salah, bisa cocok dengan keadaan yang dimaksud tersurat dalam laman situs resmi FIFA tersebut. Tetapi patut diyakini bahwa segala akibat itu pasti didahului asbabnya, sama halnya secara alami kita sering mendengar diksi “adanya asap karena adanya api” dalam penuturan obrolan kita sehari-hari. Nah nampaknya kalo dari aspek infrastruktur dan tehnis, persiapan Indonesia untuk menjadi tuan rumah piala dunia U-20 tidak ada kendala, mungkin dari sisi non tehnis yang justru dianggap FIFA jadi kendala, dan justru itu yang berpotensi menggagalkan.

Dari apa yang menyeruak ranah publik, dalam waktu berdekatan dua kepala daerah menyatakan menolak kehadiran tim sepakbola negara Israel, yang satu beralasan ancaman dan gangguan keamanan wilayahnya (tempat penyelenggaraan) baik terbuka maupun tertutup, dan yang satu lagi menjadikan alasan ajaran politik luar negeri dari Pendiri Bangsa untuk menolak tim sepak bola Israel. Tak lama berselang dari itu, seorang Sekretasi Jenderal sebuah Partai Politik besar di Indonesia, yang juga satu Partai dengan dua kepala daerah dimaksud, menyatakan secara terbuka; bahwa Partai-nya telah mengumpulkan seluruh kepala daerah (dari Partai-nya) melalui daring untuk memberikan penjelasan terkait sikap menolak kedatangan Timnas Israel (merdeka.com, 30/3).

Menjadi terang dan terbuka, alasan penolakan Timnas Israel karena dikemukakan oleh pejabat politik dan petinggi partai politik yang satu warna, besar kemungkinan ada “benang merahnya”, maka bisa disimpulkan bahwa penolakan Timnas Israel ini menjadi ranahnya politik, kemudian publik juga mulai mengaitkan dengan politik elektoral 2024, maklum tahun politik.

Beragam reaksi “sinis” publik atas “manuver” politik dibalik alasan penolakan Timnas Israel, hingga menggagalkan Indonesia sebagai tuan rumah piala dunia U-20, yang paling mengemuka itu adalah; jangan campuradukan politik dan olahraga.

Penolakan Timnas Israel di Indonesia dalam ajang kejuaraan dunia U-20 tidak akan memberikan efek apapun dengan penjajahan Israel terhadap Palestina, karena wilayah penjajahan Israel terhadap Palestina seharusnya diperjuangkan pada forum Dewan Keamanan PBB, dan Partai Politik (berkuasa) dimaksud sepatutnya menjadikan itu sebagai agenda Indonesia di forum PBB. Ketika “agenda” penolakan Timnas Israel ke Indonesia dimainkan, justru efek-nya hanya kedalam negeri, kesimpulan akhirnya; kekecewaan bangsa Indonesia karena gagal menjadi tuan rumah kejuaraan dunia sepakbola U-20. Dan tentu efek itu akan mendapat kecaman dari publik terhadap siapa yang menyulut api hingga munculnya asap, sebuah konsekuensi keterbukaan informasi, dan publik paham untuk itu.

Diskresi (hukum) Keputusan Politik
Sikap politik kita terhadap penjajahan dimuka bumi ini tertuang dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945 : “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”, selanjutnya sikap politik luar negeri inilah dijadikan landasan konstitusi, dan landasan operasionalnya ada pada peraturan perundang-undangan serta kebijakan Pemerintah.

Indonesia telah mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah World Cup U-20 sejak tahun 2019, dan sejak saat itu terus berproses dan mempersiapkan diri, dan akhirnya ditunjuk oleh FIFA menjadi tuan rumah, tentu Pemerintah dan juga PSSI mengetahui segala konsekuensi menjadi tuan rumah penyelenggaraan event internasional olahraga, apalagi sepak bola dunia yang tentu akan menjadi perhatian dunia karena keikutsertaan negara-negara dunia, termasuk Timnas Israel.

Disisi lain, Indonesia juga mempunyai sikap anti penjajahan dan tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan negara Israel, merujuk Permenlu Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Panduan Umum Hubungan Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah, sesungguhnya dapat dijadikan landasan hukum menolak kedatangan Israel di Indonesia. Namun demikian bukan berarti, Indonesia tidak pernah menerima (membiarkan) atlet Israel bertanding di Indonesia. Tercatat beberapa atlet Israel yang bertandang ke Indonesia dan bertanding di beberapa event olahraga dunia, tahun 2015 pada pertandingan Indonesia Master dan Indonesia Open pada kejuaraan Bulutangkis dunia, juga pada bulan Februari lalu atlet Israel juga bertanding cabang olehraga sepeda velodrome (Bisnis.com), semuanya berjalan, bukan acara kenegaraan, hanya event olahraga.

Seandainya sejak awal narasi yang digunakan sebagai tuan rumah untuk “memahami” kehadiran Timnas Israel dalam kejuaraan dunia sepakbola U-20 di Indonesia, adalah pendekatan dan bahasa hukum melalui Permenlu 3 Tahun 2019, mungkin saja ceritanya berbeda. Karena akan ada penafsiran berdasarkan hukum, termasuk terdapat peluang diskresi penegakan hukum, kemudian dalam pilihan yang bijak untuk kepentingan bangsa Indonesia sendiri sebagai tuan rumah kejuaraan dunia, kita bisa membedakan mana politik, dan mana olahraga, dan kemungkinan Indonesia bisa berjaya menyelenggarakan kejuaraan dunia sepakbola U-20 baik didalam negeri, maupun dimata dunia internasional.

Contoh sederhana diskresi hukum itu misalnya, setiap rambu lalu lintas di perempatan jalan harus dipatuhi, namun manakala kepentingan lain yang lebih besar, Polantas dapat menggunakan kewenangan (diskresi) untuk menghentikan laju kendaraan meskipun saat lampu menyala hijau, juga sebaliknya dapat meminta laju kendaraan terus berjalan meskipun lampu lalu lintas menyala merah. Tapi ini bukan soal warna merah, kuning, dan hijau lampu lalu lintas yang ada di perempatan jalan semata, nasi sudah menjadi bubur, narasi politik ditahun politik justru bisa menjadi bumerang politik, Indonesia gagal menjadi tuan rumah kejuaraan dunia sepakbola U-20 2023, kita ambil hikmah dan pelajaran baik dari suatu peristiwa.

(Dewan Pakar PMW KAHMI Lampung, Pemerhati Hukum “doyan” Nonton Sepakbola)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.