Revolusi dan Etika: Eksplorasi Penerapan AI di Industri Sastra, oleh : M. Ghufroni An’ars, S.Pd, M.Pd*

Warta9.com – Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) belakangan tampak seperti momok baru yang menakutkan bagi sebagian orang. Untungnya, sepanjang sejarah peradaban manusia, kita telah menghadapi banyak revolusi teknologi yang telah membawa perubahan besar. Ada banyak inovasi teknologi yang telah mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi dengan dunia sekitar. Misalnya, penemuan roda, mesin uap, dan listrik. Pada saat yang sama, teknologi selalu membawa tantangan baru dan perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kita dapat mempelajari suatu pola dari sejarah ini untuk membantu kita memahami dan mengelola AI dalam terapan pragmatisnya di masyarakat, khususnya di pasar kerja di masa mendatang.

Kecemasan terhadap pengaruh AI dalam pasar kerja telah menjadi topik perdebatan yang semakin hangat dalam beberapa tahun terakhir. Menurut sebuah studi oleh World Economic Forum (WEF) pada tahun 2018, sekitar 75 juta pekerjaan di seluruh dunia dapat terpengaruh oleh otomatisasi dan kecerdasan buatan pada tahun 2022. Namun, tidak semua industri sama-sama terpengaruh. Menurut laporan dari Forbes pada tahun 2020, industri kreatif adalah salah satu bidang yang terpengaruh paling awal oleh penggunaan AI dalam praktiknya.

Salah satu contohnya adalah industri musik. Dalam artikel pada majalah Forbes, penulis Bobby Owsinski menjelaskan bahwa teknologi AI dapat digunakan untuk menghasilkan musik baru secara otomatis dengan mengumpulkan data dari genre musik yang berbeda-beda dan menghasilkan komposisi baru yang didasarkan pada algoritma. Namun, sementara teknologi AI dapat membantu dalam produksi musik, penggunaannya telah menciptakan kekhawatiran tentang kemampuan penggantian peran musisi manusia.

Hal yang sama juga terjadi di industri film, di mana teknologi AI dapat digunakan untuk menghasilkan skenario, trailer, dan bahkan adegan film. Namun, seperti dalam industri musik, hal ini menciptakan kekhawatiran tentang kemampuan AI untuk menggantikan peran kreativitas manusia.

Revolusi Teknologi AI Berdampak pada Industri Sastra
Industri sastra juga terkena dampak dari revolusi teknologi AI. Ada perangkat lunak AI yang mampu menghasilkan karya sastra seperti puisi dan cerita pendek dalam hitungan detik, meskipun kualitas dan keaslian karya yang dihasilkan masih menjadi kontroversi. Sebagai contoh, pada tahun 2018, perusahaan Jepang, SoftBank, meluncurkan aplikasi bernama “AI Puisi” yang dapat membuat puisi secara otomatis dengan menggabungkan kata-kata dan frasa yang diinputkan pengguna.

Meskipun ada kekhawatiran tentang penggunaan AI dalam industri sastra, tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa teknologi ini dapat membantu para seniman untuk memperluas kreativitas mereka dan memberi mereka alat baru untuk bereksperimen. Seperti yang dikutip oleh The Guardian pada tahun 2018, kritikus seni dan penulis, Jonathan Jones, menyatakan bahwa “Jika Anda benar-benar seniman, Anda bisa mengambil keuntungan dari setiap alat yang tersedia.”

Meskipun demikian, beberapa praktisi di bidang sastra menunjukkan pemanfaatan etis teknologi AI untuk memperkaya karya mereka. Sebagai contoh, para penulis dapat menggunakan chatbot seperti GPT-3 (Generative Pre-trained Transformer 3) yang dikembangkan oleh OpenAI untuk membantu dalam menemukan sumber inspirasi. Chatbot seperti GPT-3 dapat memahami konteks dan memberikan ide-ide kreatif yang dapat membantu para penulis dalam mengeksplorasi konsep baru dan mengembangkan karya mereka.

Menurut sebuah artikel di The Guardian pada tahun 2021, penggunaan teknologi AI dalam industri sastra dapat membawa manfaat yang signifikan, seperti membantu dalam menganalisis data yang berkaitan dengan tren dan preferensi pembaca, membantu perumusan kerangka cerita, mempercepat proses penyuntingan, dan membantu dalam penerjemahan karya sastra ke bahasa yang berbeda-beda.

Namun, penting untuk mempertimbangkan implikasi etis dari penggunaan teknologi AI dalam industri sastra. Para penulis, editor dan penerbit harus mempertimbangkan kualitas dan keaslian karya yang dihasilkan oleh teknologi ini serta dampaknya terhadap pasar kerja dan industri sastra secara keseluruhan. Kekhawatiran utama para pelaku seni bukanlah matinya kreativitas individu, melainkan kemungkinan adanya pergeseran sistem kerja di mana pemanfaatan AI dianggap lebih efisien dan murah dibanding mengupah pekerja manusia. Sebagai contoh, industri ilustrasi telah melihat penggunaan teknologi AI dalam penciptaan ilustrasi untuk media cetak dan digital.

Pada awal tahun 2023, The Jakarta Post menghadapi protes dari kalangan seniman ilustrasi karena dituduh menggunakan teknologi AI untuk menghasilkan ilustrasi terbitan mereka. Para ilustrator menganggap tindakan ini sebagai pengurangan nilai terhadap profesi mereka. Situasi serupa terjadi di beberapa negara lain, di mana seniman-seniman ilustrasi mengalami penurunan permintaan karena penggunaan teknologi AI yang mampu menghasilkan ilustrasi dengan cepat dan efisien.

Sementara itu, masalah hak cipta karya yang dihasilkan oleh teknologi AI masih menjadi perdebatan. Karya yang dihasilkan oleh AI seringkali meminjam gaya atau style dari seniman manusia, sehingga sulit untuk menentukan siapa yang berhak atas hak cipta. Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa hak cipta harus diberikan kepada pemilik perangkat lunak AI, sementara yang lain menganggap bahwa hak cipta harus diberikan kepada seniman yang dijadikan referensi oleh perangkat lunak AI.

Dalam hal ini, diperlukan peran pemangku kebijakan dan para eksekutif korporasi untuk mempertimbangkan implikasi etis dari penggunaan teknologi AI dalam industri kreatif, terutama dalam hal hak cipta dan penghargaan terhadap profesi seniman. Perlu dilakukan diskusi dan pembuatan regulasi yang jelas untuk mengatasi masalah ini agar tidak menimbulkan ketidakadilan bagi para seniman dan pekerja kreatif. Penting untuk diingat bahwa penggunaan teknologi AI dalam korporasi tidak boleh dilakukan semata-mata dengan orientasi efisiensi biaya semata. Sebaliknya, penggunaan teknologi AI harus mempertimbangkan aspek kreativitas manusia yang tidak dapat digantikan oleh mesin.

Sebagai contoh, dalam industri kreatif, seperti seni rupa dan desain, penggunaan teknologi AI harus digunakan dengan bijaksana untuk menghasilkan produk yang tidak hanya efisien dalam biaya, tetapi juga mempertahankan kualitas seni dan kreativitas yang dihasilkan oleh manusia.

Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Price Waterhouse Coopers (PwC), sebuah perusahaan jasa advokasi multinasional yang berbasis di London, Inggris, penggunaan teknologi AI di industri kreatif dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya, tetapi juga memicu dampak negatif pada pekerjaan kreatif manusia. Dalam studi ini, para peneliti menekankan pentingnya mempertimbangkan penghargaan terhadap kreativitas manusia dalam penggunaan teknologi AI di industri kreatif.

Hal yang sama juga disoroti oleh Komisi Eropa dalam laporannya tentang “Hak Cipta dalam Ekonomi Digital” yang diterbitkan pada tahun 2016. Laporan ini menekankan perlunya mengakui nilai seni dan budaya dalam pemanfaatan teknologi AI di industri kreatif.

Dalam rangka mempertahankan kualitas kreativitas manusia, banyak perusahaan kreatif mulai mengembangkan pendekatan yang disebut “Augmented Creativity”. Augmented Creativity adalah sebuah pendekatan yang menggabungkan teknologi kecerdasan buatan (AI) dengan kreativitas manusia dalam menghasilkan karya seni atau produk kreatif. Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas karya seni manusia dengan memanfaatkan teknologi AI.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Adobe Systems pada tahun 2019 menunjukkan bahwa 62% pekerja kreatif di seluruh dunia merasa teknologi AI dapat membantu meningkatkan produktivitas dan kreativitas mereka. Namun, 88% dari mereka menganggap pentingnya tetap mempertahankan peran kreativitas manusia dalam proses penciptaan karya seni. Oleh karena itu, pendekatan Augmented Creativity menjadi solusi yang ideal untuk menggabungkan teknologi AI dengan kreativitas manusia.

Salah satu contoh penerapan Augmented Creativity adalah dalam pengembangan game. Dalam industri game, teknologi AI dapat digunakan untuk menghasilkan konten game secara otomatis, seperti karakter atau level game. Namun, kreativitas manusia tetap menjadi faktor kunci. Seorang game designer dapat menggunakan teknologi AI untuk mempercepat proses pembuatan karakter atau level game, tetapi kreativitas manusia tetap dibutuhkan dalam menghasilkan konsep game yang menarik dan inovatif.

Membantu Karya Seni
Selain itu, dalam industri film, teknologi AI dapat digunakan untuk menghasilkan efek khusus dan animasi secara otomatis. Namun, kreativitas manusia tetap dibutuhkan dalam menghasilkan cerita yang menarik dan menghubungkan efek khusus tersebut dengan cerita film. Pendekatan Augmented Creativity dapat membantu mempercepat proses produksi film, tetapi tetap mempertahankan kreativitas manusia sebagai faktor kunci dalam menghasilkan karya yang berkualitas.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Deloitte pada tahun 2019 menunjukkan bahwa sumber daya manusia masih menjadi faktor utama dalam penerapan teknologi AI di industri kreatif. Dalam studi tersebut, 91% perusahaan menganggap pentingnya keterampilan manusia dalam penerapan teknologi AI, dan 67% perusahaan menyatakan bahwa mereka lebih tertarik untuk mengembangkan keterampilan manusia daripada membeli solusi teknologi baru.

Dalam rangka memperhatikan kreativitas manusia dalam pemanfaatan teknologi AI di industri kreatif, banyak perusahaan mulai mengadopsi pendekatan yang lebih humanis dalam penggunaan teknologi AI. Misalnya, perusahaan Adobe menciptakan fitur AI yang disebut “Sensei” yang dapat membantu manusia dalam menghasilkan karya seni yang lebih baik, bukan menggantikan manusia dalam menciptakan karya seni.

Pada akhirnya kecemasan manusia akan revolusi teknologi AI adalah sebuah perulangan sejarah. Mungkin seperti kekhawatiran nenek moyang kita saat pertama kali mampu menciptakan api. Kecerdasan buatan adalah obor yang menyala di tangan kita. Bagaimana cara kita memanfaatkan api ini adalah tantangan berikutnya. (*Bidang Keahlian: Bahasa dan Sastra Indonesia
Tim Kelompok Keilmuan Sastra
Universitas Teknokrat Indonesia)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.