Tantangan Digitalisasi Media, Jurnalis butuh Skill Tambahan

GELOMBANG digitalisasi media tentu perlu dihadapi dengan bijak. Tak hanya oleh lembaga atau perusahaan media, tapi juga para jurnalis. Dimana saat ini jurnalis menghadapi tantangan yang tak dihadapi generasi sebelumnya.

Kompetisi jurnalis tidak hanya dengan sesama profesi, tapi juga dengan platform seperti media sosial yang membuat pekerjaannya menjadi lebih menantang.

Demikian antara lain benang merah dari Pelatihan Jurnalistik dan Pra-UKW Angkatan XXII-XXIV Dewan Pers secara virtual, Jumat (26/3/2021). UKW dengan lembaga penguji PWI ini, akan berlangsung pada 6-7 April 2021, di Swiss Belhotel, Bandar Lampung.

Pelatihan Jurnalistik ini diikuti 60 peserta dari berbagai jenjang, dengan tutor: M. Agung Dharmajaya (Devisi Hukum Dewan Pers), Nurjaman Mochtar dan Kamsul hasan (Komisi Kompetensi Wartawan Dewan Pers).

Agung mengulas, masa lalu jurnalis bisa menjadi sumber utama informasi bagi publik. Kini, peran itu juga dilakukan media sosial. Situasi inilah yang kemudian ikut berkontribusi bagi berkurangnya pemanfaatan media konvensional dan pergeserannya ke media sosial.

“Untuk itu wartawan harus bekerja keras mengecek semua sisi bahan berita. Istilah ‘keren’-nya: all check. Tak cukup hanya cover boothside atau meliput dua sisi saja,” ulas Agung.

Jurnalistik pada hakikatnya, urai Agung, adalah kegiatan menyampaikan pesan (mesej) atau berita kepada khalayak atau massa melalui media komunikasi yang diorganisir. Seperti media cetak dan elektronika.

Terkait hal itu wartawan harus pandai menentukan ‘lead’, sebagai sesuatu yang menentukan hidup-matinya sebuah tulisan.

“Seorang wartawan harus memerkaya dirinya dengan menguasai variasi bentuk ‘lead’,” ujar Agung mengingatkan.

Dia mengemukakan struktur berita terdiri dari ‘lead’, ‘brigde’ (jembatan), ‘body’ (batang tubuh) dan penutup. Namun bila ‘lead’ sudah rampung dibuat, unsur lainnya dengan mudah dibuat.

“Biasanya untuk berita di media terbit harian seperti surat kabar, informasi terpenting diletakkan di ‘lead’. Bagai piramida, bagian atas paling penting, selebihnya bagian lainnya berisi informasi pendukung saja,” ujarnya.

Keahlian membuat ‘lead’ harus dikuasai jurnalis, sebab sebagai ‘kepala berita’ – karena terletak di alinea pertama dari berita – ‘lead’ adalah etalase dan pintu masuk pembaca membaca berita.

“Termasuk meneruskan atau tidak, membaca berita atau ‘berita’ itu ditentukan oleh menarik atau tidaknya susunan ‘lead’ berita kita itu,” terang dia.

Sementara Nurjaman Mochtar dan Kamsul Hasan mengupas ‘Tehknik Wawancara’ dan ‘Rambu Hukum, Etik dan Pedoman Pemberitaan”.

Menurut Nurjaman Mochtar, ada sejumlah teknik mencari informasi awal, penelahaan bahan awal dan hipotesis, pencarian bahan, persiapan dan pelaksanaan wawancara dan menulis berita.

Kesemuanya, lanjut Mochtar, harus diawali dan diahiri dengan rapat redaksi. Tugas reporter dari hasil rapat proyeksi tersebut harus lebih dahulu metentukan mengenai arah, alur, pembobotan dan porsi tulisan.

Hal penting lainnya yang harus menjadi perhatian penuh adalah mengecek fakta dan ada atau tidaknya kemungkinan pencemaran nama baik.

Dalam kaitan itu, wartawan sebagai seorang profesional yang membuat berita di media  tempat ia bekerja, harus mengoperasionalkan sikap dasar sebagai seorang jurnalis.

Seperti skeptis, kritis, selalu ingin tahu, bekerja keras, komunikatif, luwes dalam bergaul, jujur-berani – adil, menghormati orang lain, tenggang rasa dan bertanggungjawab.

“Sebelum wawancara, sebagai contoh, sapa dulu narasumber dengan ramah. Kemudian  buat ‘guyonan’ ringan, agar suasana berubah menjadi ‘cair’,” ucapnya.

Trik-trik semacam itu jamak dilancarkan kalangan jurnalis. Ketika suasana berubah cair, informasi apa saja yang ingin diperoleh akan mengalir lancar dari narasumber.

Kepiawaian mengorek informasi melalui wawancara merupakan hal yang penting.
Dimana kepiawaian wawancara seorang jurnalis bisa dengan cepat menentukan angle (sudut berita-red) berita. Sekaligus memperkaya bahan berita yang akan disampaikan kepada ke kalayak pembaca.

Tapi Mochtar mengingatkan hubungan baik antara jurnalis-narasumber itu tidak hanya sebatas hendak mendapatkan informasi atau konfirmasi.

“Sebagai manusia biasa, kita (jurnalis-red) sejogyanya juga mengontak narasumber, meski tidak ada kaitannya dengan berita. Misalnya, mengucapkan selamat ulang tahun dan lain-lain,” ujarnya.

Sedangkan dalam perkembangan teknologi, platform media sosial tidak terelakkan, menjadi medium yang sangat mudah untuk menyebarkan informasi bohong, palsu atau melakukan disinformasi.

Tantangan baru ini juga membutuhkan jurnalis yang punya skill tambahan. Untuk itu, jurnalis harus bisa mencari nilai lebih dari informasi yang disampaikan, sehingga publik lebih tetap mempercayai media.

“Wartawan dituntut serba bisa, seperti menulis di media cetak, mengambil gambar atau skill lainnya,” ujar Mochtar mengingatkan.

Terkait rambu hukum, etik dan pedoman pemberitaaan, Kamsul Hasan mengupas UU No. 40, KEj, dan Pedoman Berita Ramah Anak.

Kata Kamsul, wartawan harus merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.

“Intinya, kita harus paham agar bisa bekerja tanpa melanggar aturan. Pahami rambu-rambu hukum, etik dan pedoman pemberitaan, karena kemerdekaan pers sesungguhnya hanya milik rakyat,” tandasnya. (Joni)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.