Unsur “Demokrasi” Dalam Kampanye Pemilu Era Digital, oleh : Dr. (Cand) Wendy Melfa, SH. MH*

Pengantar

Warta9.com – Mekanisme demokrasi dan ketatanegaraan yang disepakati dan dipilih Indonesia untuk memilih anggota badan perwakilan yang akan mewakili rakyat adalah Pemilihan Umum (Pemilu). Menurut UUD 1945; “Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD berlandaskan atas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun”. Frasa Demokrasi yang berasal dari bahasa Latin, demos (rakyat) dan kratein (memerintah, mengatur) yang dimaknai sebagai pemerintahan oleh rakyat. Pandangan yang paling masyhur dari teori demokrasi sebagaimana dikemukakan oleh Abraham Lincoln, yaitu “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, dipahami sebagai pemerintahan yang berasal dari rakyat yang kemudian dilaksanakan oleh rakyat dan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan rakyat.

Ada banyak pandangan untuk mengukur kualitas demokrasi secara komprehensif, terdapat dua pendekatan dalam menilai apakah sebuah negara dapat dikatakan demokratis, yaitu demokrasi substantif (maximalist approach) dan demokrasi prosedural (minimalis approach). Selanjutnya Abraham Lincoln mengatakan bahwa konsep pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat mengandung nilai prosedural dan substantif, dimana frasa ‘dari rakyat’ dan ‘oleh rakyat’ merujuk pada demokrasi prosedural, sedangkan frasa ‘untuk rakyat’ merujuk pada tujuan demokrasi substantif (Kriesi, et. al., 2013).

Dalam perspektif frasa ‘dari, oleh, dan untuk’ tersebut, coba diletakkan pada hakekat kampanye Pemilu, bahwa aktivitas kampanye Pemilu adalah sebuah aktivitas dari, oleh, dan untuk dalam makna yang dipersamakan bukan hanya dalam dimensi politik, tetapi juga dimensi sosial, budaya, dan bahkan lingkungan sebagai bagian aktivitas Pemilu khususnya pada era digitalisasi. Lalu, Bagaimana kampanye Pemilu yang (lebih) memenuhi makna demokratis di era digitalisasi pada Pemilu 2024 yang akan datang ?.

Sebagaimana dipahami, bahwa era digitalisasi 4.0 mengalami percepatan sebagai impak dari pandemi covid-19 yang ditahun 2020-2022 lalu, dimana warga masyarakat dalam berbagai lapisannya “dipaksa” mengggunakan teknologi untuk membantu aktivitas kesehariannya, karena terhalang upaya menghindari penularan covid-19, dan ini berdampak luar biasa bagi berbagai lapisan masyarakat sehingga dekat, akrab, dan melekat dengan teknologi dan digitalisasi. Pemilu yang diselenggarakan pada era pandemi Covid-19 adalah Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) 2020, dan tulisan ini membandingkan penyelenggaraan Pilkada pada saat normal, dengan Pilkada pada saat pandemi Covid-19 yang masyarakatnya sudah “terbiasa dan nyaman” menggunakan teknologi dan digitalisasi.

Tulisan ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis untuk menjelaskan atas permasalahan yang ditulis dalam hubungannya dengan aspek-aspek hukum dan politik serta mencoba menjelajah realitas empiris dalam masyarakat. Hukum dan politik tidak hanya dilihat sebagai suatu entitas normatif yang mandiri atau teoritik, melainkan juga dilihat sebagai bagian riil dari sistem sosial berkaitan dengan variabel sosial yang lain.

Demokrasi Prosedural dan Substansial dalam Kampanye
Menurut Josep Schumpeter (Capitalism, Socialism & Democracy/ 2003), demokrasi prosedural dipahami sebagai proses atau prosedur bagaimana seseorang mengikuti kontestasi pemilihan umum untuk menduduki jabatan politik, serta dengan jabatan tersebut dirinya mempunyai kekuatan untuk membuat keputusan yang mengikat. Dalam konteks proses, bahwa kampanye itu sendiri merupakan bagian dari proses kontestasi. Proses itu sendiri bila digali lebih dalam, dengan pendekatan persamaan terdapat didalamnya ‘anatomi’ prosedur dan substantif, prosedur itu berkaitan dengan cara, model, sementara substantif itu berkaitan dengan tujuan.

Secara prosedur, kampanye di era digitalisasi ini cenderung ‘bergeser’ dari cara-cara lama (baca: manual) kearah yang lebih modern dengan pendekatan digitalisasi, nir menggunakan kertas/bahan cetakan (paperless), tidak menimbulkan merusak dan mengotori lingkungan akibat pemasangan bahan cetakan, menggantung dengan cara memaku pada pohon di pingging jalan. Minim gagasan dan program karena hanya menjual nama dan foto kontestan, tidak dialogis (satu arah), saatnya berkampanye itu dengan menawarkan ide dan gagasan atas permasalahan warga masyarakat yang juga disampaikan secara digital sehingga langsung kegenggaman melalui media elektronik seperti smartphone, gadget dll. Dalam perspektif substantif, kampanye merupakan cara untuk meraih simpatik dan dukungan, dengan cara sekaligus memberikan pendidikan dan kecerdasan politik bagi masyarakat.

Secara statistik partisipasi pemilih ternyata mengalami peningkatan, berturut-turut 2015 : 70 %, 2017 : 74,0 %, 2018 : 73 %, dan 2020 : 76,9 %, justru masyarakat meningkat partisipasi pemilihnya pada saat Pilkada diselenggarakan pada era pendemi Covid-19. Pada saat itu, dengan alasan menghindari penularan Covid-19, kampanye Pilkada dilaksanakan tanpa kerumunan massa, arak-arakan, pagelaran musik di lapangan, dan berbagai kegiatan kampanye secara manual dan “beralih” dengan cara-cara kampanye terbatas, dan penggunaan media digital. Data dan asumsi ini membuktikan bahwa era telah berubah, tidak lagi menggunakan cara-cara lama yang manual, dominan menggunakan bahan cetakan yang akan mengotori lingkungan, miskin ide dan gagasan, satu arah dan lain-lain dalam kampanye, tetapi cenderung ke cara-cara lebih modern, digitalisasi dan menawarkan ide dan gagasan ke masyarakat pemilih.

Penutup
Tentu para kontestan (calon anggota perwakilan) yang akan mengikuti kontestasi Pemilu, punya pandangan, cara, strategi masing-masing dalam kerangka merebut hati rakyat pemilih. Ada yang terkesan diam, tetapi ada juga yang nampak sudah “berkiprah”, bukan hanya mereka “menunggu” keputusan Mahkamah Konstitusi soal Putusan apa yang akan diputuskan oleh MK RI berkaitan dengan sistem Pemilu, apakah proporsional tertutup atau terbuka.

Tetapi dibalik itu, ada pula yang dengan pilihan “strategi” yang dirasa cenderung efektif dengan menggunakan cara-cara yang lebih sesuai dengan perkembangan dan digitalisasi untuk “mulai” mencari simpati dan pengenalan dirinya sebagai kontestan dengan menawarkan ide dan gagasannya. Dunia politik kadang memang tidak bisa dibaca hitam putih seperti yang nampak, tetapi juga patut diduga apa yang “tersembunyi” bahkan dibalik (seolah) diam sang kontestan. (*Direktur Badan Saksi Nasional PG Wilayah Lampung
Dewan Pakar ICMI Orwil Lampung)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.