Bila Citra Land Melanggar Tata Ruang dan Mengokupasi Zona Hijau Bisa Kena Pidana

Bangunan rumah mewah di Citra Land yang ambruk karena tanah longsor. (foto : ist)

Bandarlampung, Warta9.com – Peristiwa longsor dan ambruknya tiga rumah di Perumahan Citra Land di Jalan Raden Imba Kusuma, Sumur Putri, Tanjungkarang Barat, mendapat perhatian dari aktivis lingkungan hidup Mukri Friatna.

Diketahui, dua rumah di Citra Land ambruk pada Selasa (26/1/2021), sekitar pukul 10.00 WIB dan satu lagi ambruk Rabu (27/1/2021).

Mukri Friatna juga Advokasi Serikat Hijau Indonesia (SHI) ini menilai pengembang Citra Land dan pemberi izin bisa terkena pidana apabila ada pelanggaran Tata Ruang (TR) dan terbukti mengokupasi atau menggunakan zona hijau.

Menurut Mukri, dalam pembangunan sekurangnya ada tiga aspek penting yang harus diperhatikan yaitu :
1. UU Tata Ruang (RDTL Kota Bandarlampung) RTRW mengatur tentang struktur ruang dan pola ruang. Jika dalam TR disebut bukan suatu areal bukan diperuntukan bagi pemukiman namun tetap dibangun maka pelaku usaha termasuk pemberi izin bisa dipidana.

2. Dalam UUPPLH pembangunan harus mengacu pada kajian lingkungan hidup strategis, daya dukung dan daya tampung lingkungan. Jika wilayah tersebut zona hijau atau zana lindung maka tidak bisa diubah fungsinya.

3. Dalam UU penanggulangan bencana, pembangunan beresiko tidak boleh dilakukan pada wilayah rawan bencana. Jika dipaksakan maka kontruksi harus adaptif jenis bencana yang ada di wilayah tersebut.

Menurut Mukri, mantan Direktut WALHI Lampung ini, Wilayah Telukbetung, Tanjungkarang Barat sebagian berada pada sesar gempa suam. “Jadi, dalam pengembangan perumahan atau pembangunan harus memperhatikan tiga aspek tersebut,” ujar Mukri.

Dalam UU PPLH disebutkan, pengembang perumahan dapat dikenakan sanksi pidana dalam UU PPLH, yaitu pada saat pengembang perumahan tersebut melakukan pelanggaran yang berakibat rusak atau terganggunganya lingkungan hidup.

Salah satu yang sering terjadi yaitu pada saat proses pematangan lahan perumahan secara teknis di sebutkan bahwa, Pematangan lahan untuk pengembangan perumahan dengan melakukan cut and fill (pemangkasan dan pengisian) dapat membahayakan kondisi lingkungan. Cara yang sudah lazim dilakukan pengembang sebelum membangun perumahan ini dimaksudkan untuk mendapatkan area datar sehingga pembangunannya lebih mudah dan rumah yang dihasilkan lebih banyak.

Proses cut and fill itu kerap kali merusak lahan yang imbasnya bukan hanya pada lokasi proyek bersangkutan melainkan bisa berkembang hingga ke lokasi di sekitarnya. Dampaknya bisa menyebabkan banjir, longsor, dan tanah amblas. Selain pelangaran seperti diatas, masih banyak lagi kegiatan-kegiatan pengembang perumahan yang bisa mengakibatkan terjadinya pelanggaran pidana dalam UU PPLH.

Pertanggugngjawaban pengembang perumahan dalam UU PPLH yang merupakan suatu korporasi atau badan usaha yaitu dalam pasal 116 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 disebutkan bahwa apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha; dan/atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

Dalam Pasal 140, Setiap orang dilarang membangun, perumahan, dan/atau permukiman di tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang.

Pasal 141, Setiap pejabat dilarang mengeluarkan izin pembangunan rumah, perumahan, dan/atau permukiman yang tidak sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan ruang.

Pasal 156, Setiap orang yang dengan sengaja membangun perumahan dan/atau permukiman di luar kawasan yang khusus diperuntukkan bagi perumahan dan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 157, Setiap orang yang dengan sengaja membangun perumahan, dan/atau permukiman di tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 158, Setiap pejabat yang dengan sengaja mengeluarkan izin pembangunan rumah, perumahan, dan/atau permukiman yang tidak sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (W9-jam)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.