“Geng Motor, Siapa Bertanggungjawab?” oleh : Wendy Melfa*

Pengantar

Warta9.com – Kota Bandarlampung sebagai pusat episentrum aktivitas pemerintahan, perdagangan, jasa, wisata, budaya, dan hampir semua sektor kehidupan dengan berbagai sarana fasilitas dan handicap-nya senantiasa melingkupi kehidupan masyakat yang berkehidupan di ibukota Provinsi Lampung ini.

Belakangan seperti halnya juga (pernah) terjadi di kota-kota besar lainnya, Bandung, Depok, Jakarta, dan beberapa lagi kota di Indonesia, Bandarlampung sebagai kota yang tumbuh dan berkembang dengan dinamika masyarakatnya yang semakin dinamis. Belakangan ini terusik dengan fenomena “Geng Motor” yang meresahkan, mengganggu, dan bahkan telah “mengancam” rasa aman penduduk Kota Bandarlampung dengan “tawuran” (bentrokan antar kelompok) yang tidak jarang menggunakan kekerasan, lemparan batu, senjata tajam yang menggelar aksinya ditempat/dijalan umum, hingga juga dapat mengancam keselamatan/ atau kerugian bagi masyarakat umum lainnya yang berada atau kebetulan melintas di lokasi kejadian, dan ini menjadi momok yang menciptakan rasa tidak aman (unfearness) bagi penduduk kota Bandarlampung.

Geng motor, adalah sebutan populer terhadap kumpulan (komunitas) anak muda usia pelajar SMA yang berkumpul, berkelompok, memakai identitas/nama dan/simbol kelompok, menggunakan motor sebagai alat angkut mereka, melengkapi dengan senjata tajam atau benda tumpul dalam tawurannya, bahkan disinyalir sebagai terungkap dalam case terbaru, juga menggunakan media sosial sebagai sarana untuk “berseteru” antar kelompok sekaligus menentukan titik pertempuran antar geng motor, jadilah arena bentrokan dua kelompok geng motor.

Fenomena ini bukan saja dapat merugikan dan membuat cidera bahkan mengancam jiwa anak geng motor yang terlibat bentrokan, tetapi juga dapat berdampak pada pelajar lainnya yang tidak terlibat bentrokan, bahkan masyarakat umum yang kebetulan berada dan atau melintas di lokasi tersebut. Ini yang kemudian menciptakan rasa dan nyaman dan bahkan rasa tidak aman pelajar yang tidak terlibat bentrokan, orang tua dan keluarga yang was was, dan secara umum warga kota Bandarlampung ini, karena biasanya waktu dan tempat mereka anak geng motor yang terlibat bentrokan tidak diketahui kecuali oleh mereka anak geng motor yang akan bentrokan itu sendiri.

Menurut SN Laila, mantan Ketua Komnas HAM RI dalam salah satu wawancara podcast di Lamban Gunung mengatakan, bahwa hilangnya atau terganggunya rasa aman warga kota disebabkan oleh bentrokan/ fenomena “geng motor” dapat dikatagorikan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), karena rasa aman itu adalah salah satu Hak Asasi Manusia. Menurut Direktorat Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM RI, Hak Rasa Aman dalam pengertian instrumen Nasional Hak Asasi Manusia; bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat dan tidak berbuat.

Dan hak rasa aman ini merupakan hak utama dari Hak Asasi Manusia, disamping hak atas hidup dan hak atas kebebasan yang dimiliki oleh setiap manusia.

Siapa Bertanggungjawab atas Pelanggaran HAM ?
Fenomena yang “mengancam” dan hilangnya rasa aman (unfearness) warga kota dari hadirnya geng motor di Bandarlampung ini, menggoda kita untuk mencari tahu, siapa yang harus bertanggungjawab dengan ulah kehadiran geng motor yang dapat melanggar HAM warga kota ini ?. Secara umum tugas dan fungsi Kepolisian RI sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (UU 2/2002: Kepolisian Negara RI).

Menurut catatan pemberitaan yang kami simak, kita cukup apresiasi dengan kinerja jajaran Kepolisian Lampung, menggelar operasi terhadap anak-anak muda yang berkumpul, pernah disita senjata tajam, minuman keras, juga pernah terungkap “perencanaan” tawuran dan bahkan mengungkap markas geng motor dibilangan kawasan palapa-durian payung, dan menjadikan ketua geng motor sebagai tersangka dll, upaya ini dapat menekan perkembangan perilaku negatif anak geng motor, tapi terasa belum cukup untuk menciptakan suasana aman warga kota dari kemungkinan ancaman kebrutalan geng motor.

Perilaku negatif komunitas geng motor anak usia sekolahan SMA ini secara umum merupakan bentuk kenakalan anak muda seiring emosi dan jiwa muda yang sedang tumbuh terkadang labil, lalu mereka ekspresikan dengan cara mereka sendiri, mengorganisir diri/kelompoknya, menampilkan identitas berupa nama/lambang, menampikan keberanian dll yang tidak jarang menjurus pada hal-hal pelanggaran hukum dan mengancam rasa aman orang lain dan masyarakat di sekitarnya. Fenomena ini tidak cukup diserahkan kepada Keplosian untuk mengatasi dan mengantisipasinya, harus ada peran dan dukungan yang signifikan dari orang tua/keluarga, pihak pemerintah daerah melalui Kepala/Guru sekolah di mana anak-anak itu bersekolah dan berinteraksi, tokoh-tokoh agama dan masyarakat dan stake holder terkait untuk bersinergi membina, mengantisipasi, dan menindak bila pada akhirnya terdapat pelanggaran hukum atas kenakalan anak muda kominutas geng motor ini.

Lawrence M Friedman, dalam teori penegakan hukum mengatakan; sistem hukum itu terdiri dari substansi (legal substancy) yang merupakan aturan hukum/UU, struktur (legal structur) yang merupakan aparat dan alat penegakan hukum, dan budaya hukum (legal cultur). Ketiga unsur tersebut harus hadir dan berjalan secara simultan, pararel, dan bermuara pada tujuan serta kemanfaatan hukum yang sama, bila satu diantaranya tidak hadir dalam penegakan hukum (baca aturan, termasuk untuk menciptakan rasa aman), maka tidak akan berjalan efektif dan optimal.

Pihak stake holder diluar Kepolisian, yaitu orang tua/keluarga, pihak sekolah, para tokoh Agama dan Masyarakat, merupakan unsur yang dapat mengisi ruang bagaimana membangun budaya hukum (legal cultur) yang available untuk penegakan hukum pada konteks mengatasi ulah kenakalan geng motor.
Dalam konteks mengantisipasi dan mengedukasi anak-anak muda yang berpotensi melakukan kenakalan yang dapat menjurus dan atau menimbulkan persoalan hukum pidana, maka sepatutnya pihak orang tua/ keluarga, pihak sekolah, tokoh agama dan masyarakat dapat mengambil “posisi” untuk hadir bersama-sama dengan Kepolisian untuk melindungi dan tetap menjaga rasa aman (fearness) warga kota Bandarlampung dari fenomena kenakalan ulah anak geng motor yang mengganggu rasa aman dan ketertiban masyarakat.

Bila para stake holder ini tidak ambil bagian sesuai dengan tugas dan fungsinya, maka mereka secara “bersama” dapat diasumsikan melakukan pembiaran terjadinya kenakalan anak-anak muda komunitas geng motor yang melakukan bentrokan geng motor dan berpotensi menimbulkan gangguan keamanan, melanggar hukum, dan hilangnya rasa aman (unfearness) warga kota, dan ini merupakan melanggar HAM warga kota yang harus dipertanggung jawabkan. (*Ketua Ikatan Motor Besar Indonesia Lampung, Dewan Pakar ICMI Orwil Lampung)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.