Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif Dalam Mewujudkan Keadilan di Mayarakat

(Oleh : RUSYDI SASTRAWAN)

Masih teringat dan terekam peristiwa yang menjadi viral di berbagai media massa seperti kasus dibawah ini :
https://news.detik.com/berita/d-1814861/6-kasus-sepele-yang-masuk-pegadilan-di-awal-tahun

1. Kasus Sandal AAL
Pengadilan Negeri (PN) Palu menyatakan AAL (15) melakukan pencurian sandal milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap. AAL mendapat hukuman dikembalikan ke orang tua. Kejanggalan muncul karena Briptu Ahmad Rusdi menganiaya AAL untuk mengakui tindak pencurian. Saat dipersidangan, sandal yang dijadikan barang bukti ternyata bukan sandal yang dituduhkan Briptu Ahmad Rusdi dicuri AAL. Alhasil, keluarga AAL pun banding. Tekait penganiayaan tersebut, Polda Sulteng telah menghukum polisi penyaniaya AAL. Briptu Ahmad Rusdi dikenai sanksi tahanan 7 hari dan Briptu Simson J Sipayang dihukum 21 hari. Adapun Korps Brimob telah menghukum Briptu Ahmad Rusdi selama 21 hari penjara.

2. Dugaan Pencurian Celana Dalam dan BH
Samsu Alam (39), dituduh mencuri celana dalam dan BH mantan kekasihnya, Dede Juwitawati. Menurut pengacara Samsu, Hotma Sitompul, polisi dinilaii kurang kerjaan mengusut kasus tersebut. “Masa hilang celana dalam satu, BH satu, lapor polisi. Kurang kerjaan amat polisi mengurus beginian. Saya lihat secara umum, hukum kita jangan sampai rusak. Karena polisi membela oknum-oknum bobrok. Harusnya dikasih penataran dan dapat sanksi, jangan polisi membela oknum-oknum bobrok,” kata Hotma usai sidang.

3. Dugaan Pencurian Segenggam Merica
Seorang kakek yang sudah berkurang pendengarannya, Rawi (66), warga Dusun Sengkang, Desa Talle, Kecamatan Sinjai Selatan, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, terancam dihukum 5 tahun bui. Rawi didakwa di Jaksa Penuntut Umum (JPU) karena mencuri segenggam merica.

4. Anak Yatim Dituduh Curi 8 Bunga
Anak yatim piatu, FN (16) dituntut 2 bulan penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang Pengadilan Negeri (PN) Soe, Timor Tengah Selatan. Dia didakwa mencuri 8 bunga adenium milik orang tua angkatnya, Sonya Ully. FN sendiri telah merasakan dinginnya sel tahanan selama 40 hari. Dia dijebloskan di penjara sejak diadukan ke polisi 21 November 2011.

5. Menendang Pagar Dipenjara
Kisah duka Amar bermula pada 11 Juli 2011 saat dia lewat di depan rumah Fenly M Tumbuun di Jl Kayu Manis VI, Matraman, Jakarta Timur. Anjing milik Fenly menyalak, membuat Amar terkesiap dan refleks menendang pintu pagar Fenly. Fenly tak terima dengan sikap Amar sehingga terjadi cekcok. Pukulan benda tumpul mengenai Amar. Amar yang kemudian buta akibat pukulan itu, melapor ke polisi dengan tuduhan penganiayaan. Fenly dijatuhi vonis 2,5 tahun penjara oleh PN Jaktim. Fenly yang merasa tidak terima lalu mengadukan balik Amar ke polisi dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan. Amar ditahan di Rutan Cipinang.

6. Anak Kecil Jambret Rp 1.000
PN Denpasar memvonis bocah DW (15) bersalah menjambret Rp 1.000. Namun, ia tak menjalani hukuman penjara melainkan dikembalikan ke orang tuanya. Dengan putusan tersebut, DW tak akan menjalani hukuman penjara pasca putusan tersebut. Putusan hakim ini lebih ringan dari tuntutan JPU Ni Wayan Erawati Susina selama tujuh bulan penjara.

Berdasarkan contoh beberapa kasus diatas berdasarkan keilmuan hukum apabila dipandang secara tekstual tentunya tidak ada yang salah dalam proses peradilan pidana, namun warisan KUHP Belanda yang menganut sistem Eropa Kontinental yang menjadi pedoman hukum pidana di Indonesia tumbuh dan berkembang dalam ranah positivisme. Positivisme yang membuat norma selalu mengkristal diranah Das Sollen tidak dapat menyesuaikan dengan perubahan Das Sein yang selalu mengikuti dinamika perubahan sosial yang terus terjadi. Sehingga, semakin kita mempelajari keteraturan (hukum), kita justru akan akan menemukan sebuah ketidakteraturan (Teaching order finding disorder).

Dalam kebekuan semacam ini mau tidak mau kita harus segera mencari “sesuatu yang lebih cair” atau mencairkan kebekuan tersebut dengan cara mengkonsepsikan, menjabarkan dan menerapkan suatu konsep dan “cara berhukum” yang berhati nurani, konsep berhukum yang membebaskan, bukan hukum yang bersumber pada dogmatis tekstualisme tirani dan kekuasaan semata. Suatu cara berhukum yang diwujudkan dalam konsep berhukum ideal berbasis progresif untuk menghindari kekacauan‐kekacauan hukum yang timbul dari hegemoni sporadis paradigma positivisme.

Berdasarkan uraian diatas Kejaksaan Republik Indonesia yang merupakan Lembaga Penuntutan yang menganut Asas dominus litis, menegaskan bahwa tidak ada badan lain yang berhak melakukan penuntutan selain Penuntut Umum yang bersifat absolut dan monopoli, atau dengan istilah lain yaitu dapat atau tidaknya dilakukan penuntutan terhadap suatu perkara tindak pidana hasil penyidikan (oleh Penyidik) adalah mutlak wewenang Penuntut Umum. walaupun kejadian seperti contoh diatas adalah peristiwa pada tahun 2012 namun tidak ada kata terlambat dalam merumuskan suatu kebijakan yang dapat menjadi pedoman bagi seluruh Jaksa Penuntut Umum di seluruh wilayah Indonesia, sehingga menjadi pedoman bagi seluruh Penuntut Umum dan masyarakat yang mencari Keadilan.

“Saya tidak ingin rakyat yang mencari keadilan dilukai kalian (jaksa). Tidak ada lagi orang yang melakukan tindak pidana semisal mencuri sebatang kayu, kalian pidanakan,” tegas Burhanuddin. “Kalau masih melakukan itu, kalian para jaksa saya pidanakan. Ingat rasa keadilan itu kembali ke sanubari kalian. Surat edaran ini anda baca dan dengar. Camkan dan patuhi” tegas Jaksa Agung Sanitar Burhanuddin kepada seluruh perwakilan kejaksaan di seluruh Kaltim, Jumat, 7 Agustus 2020
https://kaltimkece.id/warta/terkini/jaksa-agung-ingatkan-keadilan-restoratif-pidana-lingkungan-jangan-dibiarkan

Bahwa semangat Jaksa Agung Patut kita apresiasi dengan adanya Peraturan Kejaksaan Agung R.I Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dalam upaya mewujudkan Keadilan didalam masyarakat.

Sejarah lahirnya Keadilan Restoratif atau para akademisi sering menggaungkan dengan istilah Hukum progresif yang lahir karena keadaan Indonesia pada masa lalu. Ada berbagai pergulatan pemikiran, berkaitan dengan usaha dari pemikir hukum untuk menawarkan gagasannya agar persoalan hukum di negeri ini tidak menemui “jalan buntu”. Salah satu gagasan pemikiran yang penting dalam lingkup ini adalah hukum progresif tersebut. Pemikir penting yang berada di belakang gagasan tersebut, adalah Profesor Satjipto Rahardjo, guru besar Emiritus Sosiologi Hukum di Universitas Diponegoro, Semarang. Keadaan hukum Indonesia yang carut-marut, seperti menjadi cambuk bagi lahirnya gagasan hukum progresif tersebut. Proses ini tidak berlangsung dalam waktu singkat. Pergulatan gagasan dan pemikiran ini sudah berlangsung lama, makanya energi yang dilahirkan demikian menggumpal hingga mencapai puncak gagasan hukum progresif ini pada tahun 2002.

Memahami istilah progresivisme dalam konteks hukum progresif dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Progresivisme bertolak dari pandangan bahwa pada dasarnya manusia adalah baik, dengan demikian hukum progresif mempunyai kandungan moral yang kuat. Progresivisme ingin menjadikan hukum sebagai institusi yang bermoral.

2. Hukum progresif mempunyai tujuan berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, maka sebagai konsekuensinya hukum selalu dalam proses menjadi. Oleh karena itu hukum progresif selalu peka terhadap perubahan masyarakat di segala lapisan.

3. Hukum progresif mempunyai watak menolak status quo ketika situasi ini menimbulkan kondisi sosial yang dekanden dan koruptif. Hukum progresif memberontak terhadap status quo, yang berujung pada penafsiran hukum yang progresif.

4. Hukum progresif mempunyai watak yang kuat sebagai kekuatan pembebasan dengan menolak status quo. Paradigma “hukum untuk manusia’ membuatnya merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asa, serta aksi yang tepat untuk mewujudkannya.

Bahwa berdasarkan uraian diatas Peraturan Kejaksaan Agung R.I Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif merupakan penerapan dari Teori Hukum Progresif mengingat didalam Perja tersebut mengandung unsur-unsur sebagaimana disebutkan didalam uraian diatas karena Penuntut Umum dapat menghentikan penuntutan tanpa melalui proses persidangan dengan berbagai alasan yang menjadi tolak ukur rasa keadilan didalam masyarakat seperti sudah adanya kesepakatan perdamaian antara kedua belah pihak, kerugian relative kecil dan sudah memulihkan seperti keadaan semula dengan pelaku mengganti rugi akibat perbuatan yang telah dilakukannya.

Peraturan Kejaksaan Agung R.I Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif yang berlaku pada tanggal 21 Juli 2020 telah menunjukkan hasil yang signifikan berdasarkan laporan Jaksa Agung Republik Indonesia pada Acara Rapat Pembukaan Rapat Kerja Kejaksaan Agung R.I tahun 2020 14 Desember 2020 dimana dalam waktu beberapa bulan saja sudah 107 (seratus tujuh) perkara yang berhasil diselesaikan dan dihentikan penuntutannya dengan mengedepankan keadilan restorative.

Bahwa begitu besarnya peran aparat penegak hukum khususnya Kejaksaan R.I dalam pelaksanaan Teori Hukum Progresif di Indonesia, maka akan sangat bijaksana jika Jaksa Penuntut Umum menjadi titik pusat dimulainya pembangunan supremasi hukum. Aparat Penegak Hukum harus terus menerus ditempa dalam menghasilkan nilai-nilai tertinggi dengan menerapkan atau menerjemahkan landasan moral dan ideologi menjadi etika. Jaksa Penuntut Umum harus terus dikawal dalam mengaplikasikan ideologi menjadi etika dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya, hal itu harus diimbangi dengan faktor eksternal. Faktor ekternal tersebut bisa dengan sistem pembinaan dan pengawasan profesi, serta pengawasan secara langsung oleh masyarakat pencari keadilan.

(Penulis Merupakan Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Jambi, Semester I. NPM : P3B120014)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.