Sanghyang Dedari di Geriana Kauh, Karangasem Bangkit Lagi

Karangasem Bali, Warta9.com – Bali tak hanya dikenal dengan alamnya yang indah, akan tetapi tradisi budayanya juga, seperti Sanghyang Dedari, salah satu bentuk tarian sakral dari Desa Adat Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem.

Ritual nyolahang (menarikan) tarian ini pernah fakum selama 30 tahun. Akibatnya, para petani setempat kerap didera gagal panen. Oleh karena itu, para tetua dan prajuru Desa Adat Geriana Kauh, bertekad menghidupkan kembali Sanghyang Dedari. Tujuaannya agar panen padi petani bisa nomal.

Bendesa Adat Geriana Kauh, I Nyoman Subrata mengatakan, Tari Sanghyang Dedari merupakan tarian yang dipentaskan secara religius. Fungsi tarian ini, selain untuk menolak bala atau nangluk merana (menghalau penyakit), tarian sakral ini juga bukan jenis tarian tontonan. Pemunut Sanghyang Dedari atau penarinya bisa menari mana kala saat kondisi kerauhan (kesurupan).

Dikarenakan jiwa penari kemasukan pengaruh hyang, roh suci, dalam manisfestasi bidadari dari kahyangan atau dewi kasuburan, sehingga mereka menari di luar kesadaran. Tubuhnya mampu meliak-liuk dalam kondisi mata terpejam. Sebab menari menggunakan kekuatan jiwa, yakni indera keenam. Tarian sakral itu tidak sembarang penari bisa membawakan.

“Syarat utama mesti seorang gadis belia yang belum akil balik, masih sekolah SD (sekolah dasar). Biasanya penarinya menganut garis keturunan, meski demikian penari yang ditampilkan tidak semuanya berhasil diberkati roh suci,” jelas Nyoman Subrata.

Pementasan Tari Sanghyang Dedari, biasanya digelar tiap Sasih Kadasa atau padi dalam kondisi bunting yang umurnya tiga bulan atau padi masa. Berawal di Pura Dalem Tarukan, seluruh penari duduk rapi bersimpuh mengikuti ritual ngukup atau nusdus di depan pasepan yang telah menyala. Pasepan ini sebagai sarana untuk nedunnag roh suci, biasanya dipimpin Jero Mangku Mudita.

“Selama prosesi ngukup, ada 30 ibu-ibu menyanyikan lagu rohani yang bertujuan menarik kekuatan roh suci agar turun masuk ke jiwa para penari,” terang Bendesa Adat Geriana Kauh.

Penari yang kerauhan selanjutnya dikawal menuju perempatan jalan desa untuk siap masolah (menari). Di tengah perempatan jalan desa, telah disiapkan dua tiang bambu yang ditancapkan cukup tinggi. Penari tanpa sadar menari dengan mata terpejam memanjat batang bambu, dari puncak bambu itu kembali menari. Hal itulah membuat penonton jadi tegang.

Setelah roh suci yang mempengaruhi kekuatan jiwa raga penari merasa cukup, kemudian tarian dihentikan. Dilanjutkan dengan ritual khusus ngalulus (menghilangkan roh suci) dalam raga penari. Dan satu persatu penari Shangyang Dedari tumbang ke arah penonton dibarengi nyanyian berakhir.

“Mulialah Jro Mangku Mudita memercikkan air tirtha agar kesadaran kembali dan roh-roh suci dikembalikan ke asalnya,” pungkasnya.

Hingga saat ini, tarian sakral Shangyang Dedari ini selalu dipentaskan krama Desa Adat Geriana Kauh, setahun sekali. Pementasannya dibagi di dua lokasi yakni di perempatan jalan desa dan di Pura Pajenengan. (W9-soni)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.