Tahun Politik, Harus Siap, Dipuji, Didustai, Hingga Dicampakkan

ADA beragam dosa yang wajib dihindari. Salah satunya adalah “janji palsu”. Dimana mengingkari janji termasuk dosa yang sangat berbahaya. Namun hal itu sudah biasa dilakukan oleh para politikus demi mencapai tujuannya.

Suka atau tidak, kita sudah memasuki tahun politik. Menuju 2024, safari, konsolidasi, hingga deklarasi sebagai manuver politik kian menyesaki ruang publik. Gerak koalisi partai menghasilkan sejumlah kejutan, nama-nama bakal calon mulai diajukan.

Para calon peserta pemilu mulai bersiap menjual harapan demi meraih simpati. Para politikus akan bergerak secara terbuka maupun senyap. Mereka akan berupaya menyasar seluruh pemegang pundi hak sura untuk memenangkan pertarungan politiknya.

Janji berbalut slogan “demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat”, juga akan diserukan melalui kanal-kanal publik sebagai penyempurna safari politik demi meraih citra positif. Para calon akan berkata; dijamin, pasti, dan iya. Bak malaikat menjanjikan surga kepada manusia.

Masyarakat akan di hormati, dipuji, di kunjungi orang kaya, banyak mengaku saudara. Bahkan bisa menjadi penasehat dadakan orang-orang pintar. Berbagai program pun akan ditawarkan kepada masyarakat. Mereka akan merayu sekaligus memberi harapan.

Rakyat akan terpesona lalu terperangkap dalam jebakan kata yang diramu untuk diumbar. Terkadang lucu, kata-kata manis tersebut berulang-ulang disampaikan, tetapi hasilnya nol. Seperti parfum isi ulang, wangi tapi palsu. Ya, hanya pembohong yang terlalu mudah mengucapkan janji.

Janji para kontestan pemilu seakan hanya pemanis bibir untuk mengelabui rakyat agar tertarik memilih dirinya. Maka tidak heran, bila sebagian besar masyarakat menganggap janji politik sangat identik dengan kebohongan. Seakan merekalah para pejuang aspirasi masyarakat bersama partai pengusungnya.

Namun masyarakat sepertinya sudah terbiasa dengan tradisi tersebut. Meski sudah tahu jika janji itu bohong, tapi kadang para pemilih pun berusaha menikmati atau bahkan mengambil manfaat dari kebohongan itu. Meski dia sadar apa yang dilakukan itu hanya politik harapan palsu (PHP).

Sadar atau tidak, para calon pelayan rakyat itu justru telah memperlihatkan kebodohan dengan menjajakan dagangan yang belum pernah dia cicipi. Tentu secara moral, janji harus direalisasikan menjadi kenyataan. Bukan sebaliknya hanya menjadi instrumen pencitraan meraih simpati belaka.

Faktanya, kewajiban moral tersebut tidak benar-benar membentuk komitmen para wakil terpilih dalam mewujudkan janjinya. Alih-alih menepati janji, sejumlah kepala daerah yang sudah disumpah pun justru tidak sedikit tersandung kasus korupsi.

Korupsi tidak bisa dilepaskan dari politisi. Citra negatif ini sudah tertanam lama dan bahkan kerap terulang dari tahun ke tahun. Tak dapat disangkal, korupsi terjadi karena politisi kerap umbar janji pada saat kampanye politik. Ketika janji menjadi beban, sang politisi pun memenuhi janjinya dengan jalan pintas.

Dimana, saat dihadapkan dengan pemenuhan janji, kerap membuat politisi gelap mata. Tuntutan-tuntutan itu tentunya tak mampu dibendung dengan gaji yang mereka terima ketika menduduki kursi jabatan. Maka tak ada cara lain, selain memanfaatkan kekuasaan, juga harus pandai mencari celah untuk mencuri.

Lalu, bagaimana dengan ASN yang punya hak pilih namun harus netral?

Netralitas ASN adalah persoalan klasik, namun tetap aktual setiap kali menjelang pemilu. Persoalannya bagaimana menjamin netralitas yang akan berpartisipasi dalam perhelatan pilkada. Sementara posisinya adalah penghuni kapal birokrasi yang nantinya akan di nahkodai oleh kepala daerah terpilih dari partai politik.

Secara teori ASN harus netral. Namun bukan berarti tidak memilih atau golput, karena ASN juga diberi kebebasan hak untuk menentukan pilihan dalam politik. Hak pilih itu tanpa disadari memiliki “efek magnetik” yang menarik keberpihakan ASN terhadap calon tertentu, sehingga menyebabkan terciptanya kondisi yang tidak netral dalam tataran ideal.

Meski ada regulasi yang mengatur bahwa PNS harus bersikap netral saat pilkada. Namun pada prakteknya aparatur pemerintah itu sulit untuk netral sesuai rambu-rambu. Mereka akan ditarik-tarik oleh para tim sukses calon kepala daerah yang berkontestasi. Apalagi yang berkontestasi itu calon incumbent.

Bagi yang netral, bisa saja terbuang setelah pilkada karena dinilai tidak ikut berkontribusi. Demikian juga yang tidak netral, nasibnya bisa lebih buruk karena calon yang didukung kalah dalam pilkada. Dia akan terbuang dan disingkirkan pimpinan pemenang terpilih pesta demokrasi itu.

Tentu ASN dalam pilkada akan berhadapan dengan situasi sulit. Bersikap netral saja jabatan pun bisa terancam, mendukung juga berisiko jika jagonya kalah. Ya, buah simalakama. Dari itu pilkada merupakan dilema bagi para aparatur negara tersebut.

Loyalitas Ganda

Kondisi keberpihakan itu tentu berpengaruh dengan sistem pembinaan aparatur birokrasi. Pembina ASN bukan lagi dilakukan pejabat karier, melainkan pejabat politik (kepala daerah). Akibat dari sistem pembinaan yang tidak tepat ini akan menimbulkan “dilema” dalam tatanan pemerintahan.

Dimana loyalitas para ASN ditanamkan secara ganda: di satu sisi harus loyal kepada pemerintah sebagai pelayan masyarakat, tetapi pada sisi lain harus loyal kepada pimpinan yang notabene berasal dari partai politik.

Tidak bisa dihindari, fenomena ini menyebabkan para ASN menjadi terkotak-kotak, sehingga berkonsentrasi pada tugasnya sebagai pelayan publik pun terganggu. Bahkan hubungan sesama teman tempat mereka bekerja cenderung tidak harmonis dan saling mencurigai.

Kewenangan penuh kepada daerah menjadi faktor utama para ASN tidak netral, tidak profesional dan akan selalu terkooptasi dengan kepentingan politik. Pola pengembangan karier ASN tidak lagi diukur dari kualitas dan prestasi kerja. Kompetensi akan dikalahkan oleh lobi dan pendekatan pribadi, kepintaran dikalahkan oleh faktor kedekatan.

Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), mencatat fenomena politisasi birokrasi pada pilkada 2020 terjadi pelanggaran netralitas ASN pada 109 daerah, dari total 137 daerah. Temuan tersebut memperkuat fakta keterlibatan paslon kepala daerah dalam kontestasi pilkada.

Sesuai regulasi, kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian sebagai penentu nasib karier aparaturnya, membuat ASN sulit diharapkan sepenuhnya netral dalam pilkada. Untuk itu pemerintah perlu lebih serius mengantisipasi politisasi birokrasi pada tahun politik 2024.

Pemerintah harus membuat regulasi baru yang melarang ASN memiliki hak pilih, sama seperti TNI/Polri. Karena, selama tidak diatur mengenai hak pilih, maka diyakini netralitas PNS akan tetap menjadi sumber masalah dalam pesta demokrasi secara nasional.

Penulis : Joni Efendi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.