Butiran Peluh Pemulung Renta Demi Bertahan Hidup

Oleh : Joni Efendi

SIANG itu panas terik. Suara bising lalu lalang kendaraan sibuk dengan aktivitas. Seorang pria menyibak satu persatu sampah. Wajahnya layu, berbaju lusuh. Sehelai handuk mengalung di leher. Peluh bercucuran di wajahnya yang mulai mengeriput. Pria paruh baya berkulit gelap, bertubuh ringkih itu, tertatih-tatih mengumpulkan kardus, plastik, dan botol minuman bekas.

Di sepanjang jalan Simpang Propau hingga Semuli Raya, Kotabumi, dia setiap hari mengumpulkan sampah demi bertahan hidup. “Umur saya 60 tahun, tinggal di Semuli Raya sendiri, enggak punya istri, apalagi anak. Kerja pun seperti ini,” ucap Sukarli, nama lelaki itu, saat berbincang bersama warta9.com, belum lama ini.

Sejenak ia tertegun. Pandangannya kosong, riak air terdengar sayup tak jauh dari tempat duduknya. Ia melempar pandang ke hamparan ilalang sembari menyantap makanan dari seseorang yang ia temui di jalan. Dia terlihat letih, obrolan pun kadang terhenti saat ia menyeka keringat diwajahnya.

Pria kelahiran Astra Ksetra, Menggala 1963 itu mengaku pernah berprofesi sebagai buruh serabutan. Kini, tiap hari ia mencari barang bekas yang bisa dijual kembali. “Kerjanya keliling bawa sepeda, mencari barang bekas yang telah buang pemiliknya,” sebutnya lirih, sembari menyeruput sebotol air.

Meski sudah renta, namun semangat Sukarli tidak pantang surut untuk mencari nafkah, prinsipnya yang penting tidak mengemis kepada orang lain meski harus memulung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. “Setiap pagi tiba saya mulai melakukan aktifitas hingga sore hari,” katanya, lalu beranjak.

Masih Lajang

Tekanan dan stigma pun kerap dihadapi Sukarli yang masih berstatus lajang meski usianya sudah lebih setengah abat. Sebagian masyarakat, katanya, masih menganggap menikah dan berkeluarga sebagai suatu pencapaian dan tanda kedewasaan seseorang.

Kondisi ekonominya itu membuat Sukarli nyaris putus asa, apalagi diusianya yang sudah renta. Tempat tinggal pun ia masih menumpang di rumah adiknya. Hal itu membuat ia pasrah jika di akhir usianya nanti tidak ditemukan pasangan hidupnya.

Sebagai manusia normal, tentu ia berharap kelak mendapatkan jodoh meski harapan itu hanya setipis kulit bawang. Dimana, jodoh, maut dan rejeki sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. “Kapan kita tidak tahu. Semua ketentuan dan ketetapan Allah SWT. Optimis aja,” kata lelaki itu.

Ikhlas

Meski hari-hari Sukarli bergelut dengan sampah, dia tidak pernah mengeluh atas hidup yang dia dijalani. Ia selalu menjalankan pekerjaan sebagai memulung dengan iklas meskipun kebanyakan orang memandang profesi itu sangat rendah.

Untuknya, apapun pekerjaan harus digeluti dengan tekun. Meski tidak banyak orang yang siap mental menjalani pekerjaan yang setiap harinya bergelut dengan kotoran. Kata dia, alasan menjadi pemulung sangat sederhana, hanya demi bertahan hidup.

Dari penjualan botol-botol bekas itu dia membeli beras, lauk dan kebutuhan lainnya. Katanya, dia tidak mungkin berharap pada saudara dan keluarga, pasalnya adik tempatnya tinggal saat ini hanya bekerja sebagai buruh. Sedangkan keluarganya, juga bukan orang berada.

Tidak Tersentuh Bantuan

Kendati dikenal sebagai warga miskin namun Sukarli tidak pernah mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah, baik pusat, daerah maupun pemerintah desa tempat tinggalnya. “Pasrah aja, namanya juga bantuan,” kata dia, dengan suara sedikit parau.

Dia berharap, pemerintah bisa mendata dirinya sebagai salah penerima bantuan sosial yang dikucurkan selama ini. Namun jika tidak, ia pun tidak berkecil hati, karena menurutnya, usaha lebih terhormat dari pada bergantung dengan bantuan yang tak akan pernah cukup.

“Meski penghasilan hanya berkisar Rp40 ribu sehari, tapi nikmat. Dari pada berharap bantuan yang tak pasti. Mau sih diperhatikan, tapi tidak begitu optimis. Usaha aja, meski penghasilan kecil, mungkin lebih terhormat,” keluh pria asli Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur itu.

Matanya sembab. Tetesan butiran peluh lelaki itu tampak menutupi kelopak matanya. Baju kemeja lusuhnya pun lembab. Sesekali ia beranjak menyibak botol bekas tak jauh dari tempat rehatnya. “Lumayan, syukuri aja,” tuturnya seraya tertawa.

Stigma Negatif

Sudah jatuh tertimpa tangga! Stigma negatif bertubi-tubi diterima Sukarli. Selain lajang diusia senja, pekerjaan dianggap rendah, ia juga kerap mendapat perlakuan kurang sedap. Pria yang sehari-hari mengayuh sepeda mencari barang bekas itu, disebut kurang normal.

“Saya kerap mendapat hujatan kurang sedap. Menurut mereka, saya kurang normal. Namun saya ogah menanggapi stigma negatif itu, meski menyakitkan,” cetus Sukardi.

Kata dia, dirinya memang tidak senormal orang lain, namun dia merasa tuduhan tersebut tidak lah benar. Dia mengaku tidak pernah mencuri dan mengganggu siapa pun di lungkungannya. Hari-harinya hanya mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan dirinya sendiri.

“Saya ini tiap hari kerja, buat makan. Mungkin saya enggak senormal mereka, tapi saya tidak gila, pikiran saya normal. Kalau pun kerja bergini, mungkin takdir. Coba mereka di posisi saya yang kurang beruntung,” keluhnya sembari melipat kardus yang baru saja di pungutnya.

Penutup

Sekelumit kisah Sukardi, merupakan satu dari ribuan peristiwa orang kurang mampu yang luput perhatian pemerintah. Penyaluran bantuan dirasa belum efektif, dimana sebagian masyarakat masuk kategori miskin belum sepenuhnya tersentuh. Padahal hak masyarakat miskin mendapatkan bantuan adalah mutlak, untuk itu pemerintah harus hadir.

Meski sudah didaftarkan sebagai kelompok sasaran, mereka tidak serta merta mendapat bansos karena sejumlah tahapan proses penentuan penerima bantuan. Sejumlah faktor yang mengakibatkan penyaluran bansos belum maksimal dan tepat sasaran.

Faktor pertama, verifikasi dan validasi data  kemiskinan atau data terpadu kesejahteraan sosial yang tidak berjalan dengan baik sehingga banyak warga mampu masih terdata. Pembaruan data di tingkat pemerintah daerah juga tidak berjalan dengan baik.

Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai polemik yang kerap muncul dalam pengelolaan dan penyaluran bansos, yaitu perbaikan manajemen data dan optimalisasi satu data nasional, serta harmonisasi dan sinkronisasi regulasi atau integrasi program-program bansos.

Selain itu, diperlukan pula perbaikan tata kelola program dan sistem evaluasi partisipasi, pengawasan bersama masyarakat, serta perbaikan mentalitas miskin masyarakat. Bantuan sosial idealnya diberikan untuk mengatasi berbagai risiko sosial, salah satunya penanggulangan kemiskinan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.