Terancan Bangkrut, Petani Jagung di Banyuwangi Pasrah

Banyuwangi, Warta9.com – Dengan merebaknya wabah Covid 19 di Indonesia berdampak pada segala lini kehidupan dari kalangan pengusaha hingga pada petani jagung di Kecamatan Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Masyarakat Kecamatan Wongsorejo yang mayoritas petani dan buruh tani dengan adanya wabah yang sangat menakutkan karena berdampak kematian membuat segala sektor usaha juga petani khususnya terancam gulung tikar.

Hal itu dikarenakan biaya produksi serta oprasional tidak sepadan dengan harga jual pada tahun ini, dimana biaya produksi lebih besar dengan nilai jual hasil panen.

Dimana sejak tahun 2020 harga yang berkaitan dengan kepentingan pertanian melonjak naik hampir dua kali lipat, seperti harga pupuk bersupsidi dari harga Rp. 190.000 per kwintal dikios naik menjadi Rp. 270.000 per kwintal.

Menurut para pedagang pupuk melonjak tinggi karena adanya kebijakan setiap pembelian satu kwintal pupuk Uria harus di ikutkan 10 kg pupuk non subsidi hingga dari semula Rp. 190.000 menjadi Rp. 270.000 / kwintal.

Sedangkan nilai jual hasil panen khusus jagung merosot draktis dari harga Rp. 4.300 sampai Rp. 4.500 perkilo gram kering pada tahun 2019, maka di tahun 2020 harga jagung kering berkutat di nilai Rp. 3.100 hingga tertinggi Rp. 3.300 per kg.

Menurut H. Mukhsin (45) sebagai petani jagung sejak 15 tahun yang lalu pada tahun ini merupakan tahun yang mengancam keberlangsungan tarap hidup petani.

“Dengan harga jagung sebesar itu (Rp. 3.300) maka tidak sepadan dengan harga pupuk, harga bibit jagung dimana perkilo gramnya Rp. 70.000 dengan bibit stardar, untuk bibit yang agak tahan dengan penyakit bulay Rp. 90.000/ kg, dengan demikian maka para petani jagung tahun ini akan terancam gulung tikar,” terangnya kepada warta9.com dirumahnya.

“Kalau kondisi terus berlarut larut seperti tahun ini dipastikan saudara saudara saya yang semuanya petani dan lahan pertaniannya semuanya hasil sewa bukan milik sendiri bukan hanya sekedar gulung tikar akan tetapi terancam berhenti bertani karena tak mampu bayar sewa, dimana harga sewa ditempat kami mas per hektarnya mencapai Rp. 45 juta,” lanjutnya dengan nada putus asa.

Ditempat terpisah Didik Hariyadi selaku pedagang jagung kering pipil mengatakan, merosotnya harga jagung kering dilapangan bukan permainan tengkulak akan tetapi soal pasar yang tak bisa memprodusi jagung kering, sebab dengan kondisi PSPB yang mengarah ke lockdown semua pabrik atau pengusaha yang berbahan baku jagung semua tutup, jelasnya. Minggu (17/05/2020).

Ditambahkannya, semua ini karena pengaruh wabah Covid 19 yang menakutkan semua kalangan hingga kami para pedagang juga terdampak, namun yang sangat merasakan dampaknya petani antara biaya produksi dan hasil jual sangat timpang bisa bisa tidak kembali modal, sedangkan mereka tidak semua modal pertaniannya dari kantong sendiri akan tetapi modal bank, lanjut Didik panggilan akrab sehari hari. (W9-rob)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.