“Nuwo Gachak” Membelah Pusat Kota Tubaba

SEKELOMPOK pria sibuk menyusun kayu, sementara sekawanan remaja yang sudah berkostum sibuk menghapal gerakan tarian di penghujung senja itu. Kota Budaya Uluan Nughik, yang masih dalam proses pengerjaan ini dijadikan pusat kegiatan seni dan budaya. Memasuki lokasi suasana berbeda langsung terlihat. Dikelilingi pepohonan, berjajar rumah-rumah panggung khas Lampung yang disebut Nuwou Gachak.

Rumah adat berbahan kayu dan beratapkan genteng sebagai pengganti anyaman daun itu memiliki ukuran dan bentuk yang bervariasi. Rumah tersebut saat ini tidak dijadikan tempat tinggal, melainkan sebagai pusat kegiatan seni atau budaya. Meski terlihat sederhana namun harganya cukup membuat orang tercengang, diperkirakan bisa menghabiskan uang Rp200 hingga Rp500 jutaan.

Pasalnya rumah yang sudah berumur ratusan tahun ini sebagian di beli dari berbagai daerah di Sumatera. “Rumah ini utuh dibeli ‘Pak Umar’ dari Sumatera Selatan. Tidak ada yang baru, kita tetap menggunakan matrial berbahan kayu yang sebelumnya dilepas lalu dirakit kembali tanpa merubah bentuk asli,” kata seorang pekerja asal Meranjat yang akrab di-sapa Mang sambil menunjuk ke arah kerangka rumah yang masih dalam tahap pengerjaan.

Dimana sebelumnya Bupati Tulangbawang Barat Umar Ahmad berkunjung ke sejumlah wilayah di Sumatera. “Pak Umar mencari rumah panggung usia ratusan tahun dengan material bangunan yang masih utuh. Dia menyebut harga rumah ber-material kayu itu cukup mahal, namun pria berkulit gelap ini tidak menyebut secara pasti nilai harga rumah panggung itu dibeli. “Pokoknya mahal. Sabanding dengan harga rumah beton,” ungkapnya sembari meruncing sebilah kayu.

Menurut dia konsep rumah panggung tersebut memiliki skenario antisipasi dan pencegahan. Secara sederhana dijelaskannya bahwa konsep rumah panggung adalah bangunan berkaki dimana dasar bangunan diangkat keatas sehingga tidak menyentuh tanah. Jarak lantai bangunan dari tanah variatif, antara satu hingga dua meter tergantung lokasi.

Meski bentuk rumah berbeda, namun pola ruang pada rumah panggung tradisional hampir sama, memiliki teras atau serambi di bagian depan atau samping, beberapa kamar tidur, ruang keluarga, dan dapur di bagian belakangnya. Semua ruang berada di dalam rumah kecuali kamar mandi, karena jaman dahulun mereka menggunakan pancuran di luar rumah atau fasilitas umum di lingkungannya.

Hubungan antara elemen struktur tersebut menggunakan kayu yang diruncing berbentuk paku. Karena material cukup ringan dan hubungan konstruksi yang baik, maka rumah panggung tradisional ini lebih mudah beradaptasi terhadap gaya bencana alam. Sambungan yang terbuat dari kayu bersifat lentur sehingga memungkinkan bangunan bergerak mengikuti arah guncangan. Hal ini akan membuat konstruksi terhindar dari patahan struktur.

Arsitektur Tradisional

Nuwo Gachak yang masih berdiri hingga saat ini sudah berusia 100 hingga 200 tahun. Kayu-kayu yang biasa digunakan untuk membuat rumah tradisional Lampung adalah jenis kayu Merbau, Nangi, Bungur, Berumbung dan Tembesu. Namun keberadaan kayu-kayu hutan yang kokoh tersebut sudah sangat sulit ditemukan dalam jumlah yang besar.

Pria asal Meranjat ini menjelaskan, kayu Merbau dan Berumbung umumnya digunakan untuk papan-papan rumah. Sedangkan kayu Bungur dan Tembesu digunakan untuk membuat tiang, dan kayu Nangi digunakan untuk membuat bagian atap rumah. Menurut masyarakat Meranjat, ujar dia, kayu Jati atau jenis kayu lain lebih mudah rusak, dan hanya bisa bertahan kurang dari 100 tahun.

Berbeda dengan kayu jenis Merbau, Nangi, Berumbung, Tembesu dan Bungur yang dapat bertahan hingga ratusan tahun lebih. Terbukti dari rumah-rumah adat mereka masih kokoh berdiri meski telah ratusan tahun. Dahulu, kata dia, rumah-rumah adat masyarakat Lampung kala itu, selain dibangun oleh penduduk asli juga dibantu oleh masyarakat Meranjat dari Palembang.

“Ciri khas bangunan rumah masyarakat Lampung dan Sumatera Selatan hampir sama, memiliki fungsi sebagai penunjang aktivitas kehidupan masyarakat. Menurut saya, arsitektur rumah panggung ini merefleksikan semangat keterbukaan, kekuatan, kenyamanan dan keindahan,” jelasnya sambil menghisap sebatang rokok.

Ia menyebut gagasan Umar Ahmad tersebut dapat dijadikan contoh daerah lain, khususnya Lampung dan Sumatera Selatan, mengingat keberadaan rumah asli tradisional peninggalan nenek moyang itu nyaris punah tergerus zaman. “Ibarat mengangkat batang terendam, budaya kita nyaris sirna tergerus perkembangan zaman, istilah kami (Meranjat). Mari kita dukung peninggalan kultur budaya kearifan lokal,” ajaknya.

Untuk menyelamatkan warisan budaya dalam rangka menjaga kearifan lokal, Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung, di bawah Dinas Pariwisata meluncurkan Kota Budaya “Uluan Nughik”, di Kelurahan Panaragan Jaya, Tubaba. Kota Budaya ini diluncurkan mengingat keberadaan rumah tradisional sudah semakin langka. Namun warga Tubaba menawarkan homestay bagi anda yang ingin merasakan atmosfer perkampungan.

Lokasi

Kota Budaya ini terletak sekitar 100 Km dari Provinsi Lampung atau tepat berada tidak jauh dari pusat kota Tubaba. Namun akses ke sini terbilang mudah. Anda bisa memakai kendaraan pribadi jenis apa saja atau menggunakan jasa angkutan jurusan Kabupaten Tulang Bawang Barat.

Jika anda menggunakan jasa travel, maka anda bisa meminta memasukkan Kota Budaya ini dalam daftar destinasi. Perjalanan memakan waktu sekitar 2 jam dari Kota Bandar Lampung. Anda tinggal menyusuri jalan Tol Trans Sumatera ruas Bakauheni- Terbanggi Besar atau ruas Terbanggi Besar- Pematang Panggang- Kayu Agung, dari pintu Tol Menggala belok kanan melewati Kantor Bupati Tubaba menuju Panaragan Jaya. Lokasi sebelum komplek rumah dinas bupati belok ke kanan sekitar 200 meter.

Disini nuansa perkampungan dengan pemandangan hijau dikelilingi pepohonan dan batu raksasa di tengah taman akan menyegarkan mata. Memasuki lokasi sekitar 200 meter dari jalan raya anda disambut dengan deretan rumah tradisional Lampung yang masih asli. Keberadaannya berjajar rapi kelilingi pohon-pohon yang berada disisi kiri dan kanan. Sebagian rumah panggung atau Nuwow Gachak itu sedang dalam proses pembangunan.

Namun anda tidak harus menunggu sebagian rumah panggung tradisonal ini rampung dikerjakan, untuk menengok kehidupan di Kota Budaya Uluan Nughik. Selain rumah panggung khas Lampung, di lokasi tersebut juga terdapat komplek rumah baduy yang asli dibangun oleh suku baduy yang didatangkan dari Banten. Para seniman dan budayawan dari dalam bahkan luar negeri pernah menginjakkan kaki di Kota Budaya ini.

Tidak jauh dari lokasi tersebut anda juga dapat mengunjungi Masji Apung (Islamik Center) yang sering disebut komplek dunia akhirat. Dimana dilokasi tersebut selain terdapat masjid tanpa kubah yang terapung dikelilingi danau, juga berdiri bangunan Sesat Agung atau rumah adat sebagai pusat pertemuan tokoh adat diwilayah tersebut. (“)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.