Putusan Penundaan Pemilu 2024 : “Ngawur” Oleh : Dr. (Cand) Wendy Melfa, SH, MH*

 

Pengantar
Warta9.com – Membaca berita Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU RI), Kamis (2/3/2023) dalam nomor perkara 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, sempat sempat tertegun.

Putusan dalam Pokok Perkaranya antara lain pada butir tiga dan lima berbunyi: (3) Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum; (5) Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari;, sempat tertegun sebentar, lalu selanjutnya senyum sambil menggelengkan kepala, bercampur rasa aneh, geli, dan gak percaya ada Putusan Pengadilan Negeri seperti itu. Inti Putusan PN dalam perkara ini adalah, menunda tahapan Pemilu 2024 selama 2 tahun lebih sejak putusan ini diucapkan, yang bermakna menunda Pemilu 2024.

Anatomi Perkara
Dilihat dari pihak-pihak yang berperkara, jenis nomor perkara yang menggunakan kode huruf Pdt.G, dipastikan bahwa perkara ini adalah lingkup perkara hukum perdata, bukan lingkup hukum publik, karena itu proses pemeriksaan dan putusan perkaranya linier pada lingkup perdata yaitu pada ruang hak dan kewajiban pihak-pihak yang berperkara, tidak “menyasar” pada pihak lain yang tidak ada dalam perkara, apalagi sampai berdampak pada kepentingan umum.

Tentang kewenangan, didalam dunia peradilan, hakim dilarang menolak memeriksa dan memutus perkara (asas Iura Novit Curia) sebagaimana juga diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU 48/2009 tentang Kehakiman, lalu juga ada yang disebut kompetensi absolut; mengadili perkara menurut materi/ objek perkaranya, dan kompetensi relatif; mengadili perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Dalam perkara ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasar asas Iura Novit Curia, tetap harus memeriksa gugatan Partai Prima, namun sepatutnya mengingat objek perkaranya, putusannya bukanlah pada penundaan tahapan Pemilu 2024 yang sedang berjalan, karena hal itu sudah merambah pada kepentingan hukum pihak lain dan juga kepentingan umum yang secara tegas bukan sebagai pihak dalam perkara tersebut.

Dalam teori sistem hukum Hans Kelsen, sebagaimana juga dianut Indonesia, bahwa sistem hukum itu tersusun secara berjenjang dan ketentuan hukum yang berada diatas menjadi rujukan dan sumber hukum, atau sumber hukum hukum yang berada dibawah tidak boleh bertentangan dengan sumber hukum yang berada diatasnya. Secara berturut-turut sistem hukum Pancasila yang paling atas adalah Pancasila, UUD 1945, UU/ Perpu, dan seterusnya, adapun putusan hakim disejajarkan kekuatan hukumnya sama dengan UU. Pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali (vide Pasal 22E UUD 1945), apabila ada ketentuan dibawah UUD 1945 sebagai Konstitusi dan sumber hukum Indonesia yang mengatur bertentangan dengan ketentuan tersebut, maka haram hukumnya. Juga bila merunut teori tujuan hukum Gustav Radbruch, terdapat tiga tujuan hukum yaitu; kemanfaatan, kepastian, dan keadilan (prioritas). Berkaca dari teori ini, putusan perkara tersebut belum mencerminkan tujuan hukum karena tidak memberi manfaat atau bertentangan dengan manfaat bagi kepentingan umum yang sama sekali tidak ada dalam perkara tersebut, tidak mempunyai kepastian hukum (bertentangan dengan UUD 1945), dan tidak berkeadilan bagi Partai Politik lain peserta Pemilu 2024 dan rakyat yang menghendaki Pemilu 2024.

Ada banyak hal lain yang dapat disoroti sebagai anatomi perkara tersebut, namun dari beberapa yang diuraikan tersebut diatas, dapat dinyatakan bahwa Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini adalah melampaui kewenangannya, tidak berdasarkan hukum, dan tidak sesuai dengan tujuan hukum, dengan kata lain “NGAWUR”

Penutup
Sudah benar langkah yang diambil KPU RI untuk “melawan” putusan PN Jakarta Pusat dalam perkara ini dengan mengajukan upaya hukum banding, meskipun juga cukup alasan untuk “memeriksanya” mengapa sejak awal tidak melalukan langkah “tangkisan” dengan mengajukan eksepsi dalam perkara ini dengan menyatakan PN Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini. Seharusnya sebagai penyelenggara Pemilu, KPU RI “hatam” tentang lembaga mana untuk memeriksa dan memutuskan permasalahan seperti dalam pokok perkara tersebut.

Cukup alasan bagi Mahkamah Agung RI sebagai pilar penjaga terakhir dan tertinggi untuk memeriksa Majelis Hakim yang memutus perkara ini, atas putusan “ngawur” ini, agar tindakan “ngawur” dengan menggunakan lembaga peradilan jangan lagi terulang dimasa datang, semoga. (*Direktur Badan Saksi Nasional PG Wilayah Provinsi Lampung
Dewan Pakar MPW KAHMI Lampung)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.