LANGIT Ahmedabad sore itu menyimpan tangis yang belum tumpah. Burung-burung terdiam, dan angin pun enggan berbisik. Sebuah pesawat Air India Al171 jatuh menghujam bumi, membawa serta 242 jiwa dalam perjalanan yang tak pernah sampai tujuan.
Dari reruntuhan logam, serpihan tubuh, dan jerit yang hilang di udara, hanya satu napas yang tersisa.
Namanya Vishwash Kumar Ramesh, usia 40 tahun. Seorang pria biasa, di kursi 11A, dekat pintu darurat. la tak tahu bagaimana dirinya lolos dari maut. la hanya ingat cahaya yang redup, hentakan yang mengguncang jiwanya, lalu… sunyi. Sunyi yang dipenuhi bau besi terbakar, jeritan senyap, dan tubuh-tubuh yang tak lagi bergerak.
Dengan tubuh luka-luka dan pikiran yang tak utuh, Vishwash bangkit. Bukan dengan kekuatan, tapi entah dengan apa. Mungkin doa sang ibu yang tak henti-henti. Mungkin tangis anaknya yang menggema jauh di Inggris. Atau mungkin Tuhan memang belum selesai dengan hidupnya.
la berjalan sendiri, melewati puing, melewati maut yang memanggil-manggil, hingga tiba di ambulans yang seakan menunggunya.
Dunia menyebutnya mukjizat. Media sosial menyebutnya keajaiban. Tapi Vishwash hanya menangis. Bukan karena selamat, melainkan karena ia satu-satunya yang masih bisa merasakan rasa kehilangan.
“Kenapa aku?” tanyanya lirih, berkali-kali. Tapi langit tetap diam.
Kadang, kita lupa bahwa hidup bisa berubah hanya dalam satu detik. Kursi yang kita duduki hari ini, bisa jadi menjadi saksi akhir esok hari. Maka selagi sempat, genggamlah tangan yang kau sayang. Ucapkan maaf yang selama ini tertahan. Peluklah lebih lama, jangan tunggu perpisahan.
Karena hidup bukan soal panjangnya napas, tapi seberapa dalam kita mengisinya dengan makna.
Vishwash dalam luka yang belum sembuh telah menjadi pengingat. Bahwa di antara tragedi dan kehilangan, selalu ada cahaya kecil yang bersinar. Bukan untuk menjelaskan, tapi untuk menyentuh bahwa hidup ini rapuh, dankarenanya… berharga. (Jon/tea)