
Bandarlampung, Warta9.com – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Mighrul Lappung Bersatu menggelar kegiatan “Sosialisasi Mosok dan Bebandung” di Ballroom Hotel Emersia, Bandarlampung, Senin (19/5/2025).
Mighrul Lampung yang diketuai oleh Dwita Ria Gunadi, anggota DPR RI ini, secara khusus membahas adat Lampung yang menghadirkan salah satu budayawan Lampung Ir. H. Anshori Djausal, MT.
Anshori membedah Budaya dan Tradisi Lampung. Menurut budayawan dan arsitek ini, budaya berkembang melalui tradisi yang kaya, dalam seni budaya lokal yang mengajarkan lewat kebiasaan. Melalui sejarah dan lingkungan alamnya.
Membangun rasa kangen dan nyaman. Menggunakan masa lalu untuk membangun masa depan yang lebih baik, belajar dari hambatan dan kesukaran pada masa lalu.
Menurut Anshori, ada ikatan yang kuat antara warisan budaya dengan masyarakatnya. Demikian juga ikatan terhadap ruang. Budaya menentukan keberhasilan dan Kebesaran sebuah masyarakat.
Budaya adalah hati dan jiwa sebuah komunitas. Mengikat teman dan kerabat. Berbagi pengalaman. Membangun komunitas yang menyenangkan.
Budaya juga berkenaan dengan hubungan kita dengan lingkungan.
Menghubungkan kita dengan tanah, air, obat herbal, ikan, makanan dan banyak hal yang kita lakukan.
Piil Pesinggiri
Menurut Anshori, pandangan hidup orang Lampung dikenal dengan sebutan Piil Pesenggiri tertulis dalam Kitab Koentara Radja Niti. Kitab ini memuat berbagai perihal peraturan yang harus dijadikan panutan oleh seluruh orang Lampung.
Ketigapuluh pasal tersebut meliputi:
– Pi‘il Pesenggiri, tentang adat
“perangai yang keras” atau rasa hargadiri.
– Juluk Adek, tentang adat nama
gelar sebelum dan sesudah menikah.
– Nemui Nyimah, tentang ada sopan santun.
– Nengah Nyappur, tentang adat
pergaulan dan berinteraksi.
– Sakai Sambayan, tentang adat
hidup tolong-menolong dan bergotong royong dalam bermasyarakat.
Naskah Koentara Radja Niti yang disajikan dalam penerbitan sekarang ini baru merupakan hasil penggarapan dari sebagian isinya, yaitu baru meliputi 30 pasal dari seluruhnya yang
berjumlah 236 pasal.
Dalam perundang-undangan Kuntara,
masyarakat juga diatur untuk bersikap baik pada bumi dan alam sekitar. Kitab Kuntara Raja Niti bukan semata
mengatur acara adat sebagai seremonial, melainkan juga hubungan antara manusia satu dan lainnya, antar tetangga, antar masyarakat, juga hubungan antara rakyat dan rajanya.
Ansori juga memaparkan urutan umum prosesi perkawinn adat Lampung:
1. Nindai/Nyubuk: Prosesi peninjauan calon pengantin oleh keluarga pria.
2. Nunang (Melamar): Prosesi lamaran yang dilakukan oleh keluarga pria ke keluarga wanita.
3. Nyirok/Ngikat: Prosesi pengikatan atau janji pernikahan antara kedua belah pihak.
4. Manjau (Berunding): Musyawarah antara keluarga pria dan wanita .
5. Sesimburan (Dimandikan): Ritual siraman .
6. Betangeas (Mandi Uap): Ritual mandi uap untuk calon pengantin perempuan.
7. Berparas (Merawat Wajah): Ritual merawat wajah calon pengantin perempuan.
8. Gupuh Beti (Gotong Royong): Gotong royong keluarga .
9. Akad Nikah: Prosesi akad nikah sesuai dengan syariat Islam.
10. Pemberian Gelar Adat: Pemberian gelar adat kepada kedua mempelai, seperti “Adok” untuk pria dan “Inai” untuk wanita.
11. Musek/Mosok (Suapan Makanan): Ritual suapan makanan bersama antara kedua mempelai dan tetua keluarga.
Mosok
Menurut Anshori, Musek/Mosok suapan makanan ini menjadi bagian penting dalam pernikahan adat
Lampung, terutama masyarakat Pepadun. Suapan ini dilakukan oleh
keluarga, terutama ibu kelamo kepada pengantin sebagai bentuk kasih
sayang dan doa.
Pemberian Gelar Adat (Adok):
Bersamaan dengan mosok, pengantin laki-laki dan perempuan diberikan gelar adat sesuai dengan silsilah keluarga. Gelar ini, misalnya “Enai Adek” (di Lampung Pepadun), memiliki harapan agar pengantin memiliki pemikiran yang baik, keturunan yang banyak.
Tradisi Mosok, memiliki makna mendalam sebagai penyampaian pesan kasih sayang dari keluarga kepada pengantin, serta harapan agar
kehidupan pernikahan dan berumahtangga dapat berjalan dengan baik.
Anshori juga merinci makna pada masing-masing keterangan mosok:
a. Nasi putih sebagai simbol pangan yang merupakan lambang
kemakmuran dalam berumahtangga.
b. Potongan ayam memiliki makna giat bekerja keras. Karena ayam melambangkan sifat kerja keras dan etos kerja yang tinggi, serta semangat dalam mencari rezeki untuk bertahan hidup.
c. Telur ayam bulat memiliki makna dalam berumahtangga kebulatan tekad berdua dalam menjalani hidup berumahtangga, satu hati, dan satu pikiran.
d. Kopi hitam memiliki makna agar kedua mempelai memiliki hati yang tidak pencemburu, dan berburuk sangka terhadap pasangan masing-masing.
e. Air putih memiliki makna kebersihan hati, menjernihkan hati masing-masing
mempelai dalam menghadapi masalah berumahtangga.
f. Ketan manis, memiliki makna keharmonisan kedua mempelai.
g. Kelapa gula merah dan kue-kue memiliki makna rumahtangga semanis kue-kue.
h. Kacang, permen serta koin yang dilempar mempelai laki-laki ke tamu undangan adalah berbagai kebahagiaan, suka cita akan kesuksesan acara pernikahan kedua mempelai.
Kekerabatan dan Kemuarian Dalam Masyarakat Lampung
Kekerabatan dan kemuarian dalam masyarakat Lampung memiliki aturan-aturan yang telah ditetapkan.
Dari tutur panggilan itulah akan
diketahui bagaimana strata seseorang dalam masyarakat adat sekaligus
mencerminkan pandangan hidup orang Lampung dalam bermasyarakat.
Keluarga Inti dan Keluarga Luas:
Keluarga Inti, oleh orang Lampung disebut segayoh atau gayohsai (satu periuk) yang biasanya berdiam bersama-sama dalam sebuah keluarga
batih patrilineal yang disebut
senunow, menyanak, satau sanga lamban (artinya serumah). Lebih luas disebut satu KEBUWAYAN.
Keluarga Luas, dalam masyarakat Lampung keluarga luasnya disebut sejurai atau menyanak warei yang anggotanya termasuk kerabat
karena hubungan darah dan kerabat karena hubungan perkawinan.
Kelompok inti sebuah keluarga luas adalah yang disebut adik warei. Anggotanya biasanya adalah beberapa lelaki bersaudara satu ayah beserta keluarga masing-masing menempati rumah yang disebut nuwou balak di atas.
Keluarga luas tersebut dapat pula menarik garis ikatan kekerabatan sampai lima ke turunan ke atas. Ikatan ini berupa suatu klen patrilineal yang mereka sebut buway asal atau
KEBUWAYAN.
Dalam memperhitungkan garis keturunannya, keluarga suku asli masyarakat Lampung mengenal pula adanya saudara sekandung, anak dari saudara ayah – ibu, anak saudara kandung dan seterusnya. Untuk membuktikan kesatuan tersebut, secara formatif mereka telah mempunyai susunan kekerabatan tersendiri yang berasal dari kakek nenek terdahulu. Demikian pula dengan bapak dari ayah dalam suatu keluarga inti pasti memiliki kedudukan yang sama pentingnya bagi seorang individu.
Tiap-tiap kelompok keluarga batih dalam lingkungan kerabat akan mempunyai kakek dan nenek yang di tengah garis keturunan mendasari tahap perkembangan suatu kekerabatan. Kedua kakek-nenek itu merupakan dasar keturunan bagi seseorang.
Kelompok Kekerabatan yang Bertalian Perkawinan
Kelompok Kelama, saudara-saudara laki-laki dari pihak ibu dan keturunannya.
Kelompok Lebu yaitu, terdiri dari saudara-saudara laki-laki dari pihak ibunya ayah (nenek) dan keturunannya.
Kelompok Benulung Yaitu terdiri dari anak-anak saudara perempuan dari pihak ayah (bibi) dan keturunannya.
Kelompok Kenubi Yaitu terdiri anak-anak saudara-saudara dari pihak ibu bersaudara (sepupu dari pihak ibu) dan keturunannya.
Kelompok Pesabaian (sabai-besan) Yaitu kekerabatan yang terjadi karena adanya perkawinan yang dilakukan oleh anak-anak mereka.
Kelompok Mirul-Mengiyan, Maru, Dan Lakau Yaitu terdiri dari semua saudara-saudara perempuan yang telah bersuami (Mirul) dan para suaminya (Mengiyan) kemudian saudara-saudara dari Mirul dan Mengiyan tersebut yang merupakan ipar (Lakau) para Mirul bersaudara suami serta para mengiyan bersaudara istri disebut (Marau).
Dalam kesempatan ini, Anshori memberikan apresiasi tinggi terhadap gerakan budaya yang diinisiasi Ketua Umum Mighrul, Dwita Ria Gunadi. Secara fisik memang kecil, tapi gerakannya luar biasa untuk pelestarian adat,” ujar Ansori.
Ia juga menyampaikan bahwa Dwita Ria telah aktif dalam kegiatan budaya sejak masa mahasiswa, dan kini telah menjabat tiga periode di DPR RI.
Kegiatan ini tidak hanya menjadi ajang sosialisasi, tetapi juga dilengkapi dengan praktik langsung mosok dan bebandung.
Acara ini diikuti oleh pengurus dan anggota DPP Mighrul Lappung, serta perwakilan berbagai organisasi perempuan se-Provinsi Lampung.
Dwita Ria Gunadi, dalam sambutannya menekankan pentingnya menjaga budaya lokal sebagai identitas bangsa.
“Mosok bukan sekadar tradisi, melainkan identitas. Bebandung bukan hanya pertunjukan, melainkan jembatan nilai,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Pelaksana kegiatan, Ellya Saleh, dalam laporannya menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari komitmen Mighrul dalam penguatan literasi budaya.
“Kami ingin budaya Lampung tidak hanya dilestarikan, tetapi juga diwariskan melalui proses belajar aktif, terutama di kalangan perempuan dan generasi muda,” jelasnya.
Mighrul Lappung Bersatu juga menyampaikan rencana strategis ke depan, seperti dokumentasi budaya lokal dalam bentuk digital, penyusunan buku kuliner Lampung, pembukaan kelas budaya, hingga promosi budaya Lampung di ruang-ruang publik dan pendidikan formal.
Dengan kegiatan ini, Mighrul menegaskan posisinya sebagai organisasi perempuan pelopor pelestarian budaya Lampung, yang tidak hanya menjaga warisan, tetapi juga menciptakan ruang baru untuk pertumbuhan budaya di tengah masyarakat modern. (W9-jm)