PEMERINTAH Kabupaten Lampung Utara tengah giat menggalakkan program untuk meraih predikat Kabupaten Layak Anak (KLA) di Tahun 2025. Berbagai kegiatan diselenggarakan, mulai dari sosialisasi hak-hak anak, pembentukan forum anak, hingga penyediaan ruang bermain di sejumlah titik. Di atas kertas, ini adalah langkah progresif. Namun, jika menengok realita di lapangan, tampak jelas bahwa impian tersebut masih jauh panggang dari api.
Kenyataannya, hingga kini masih banyak ditemukan anak jalanan (anjal), pengemis, dan pengamen cilik berkeliaran di jalan-jalan protokol, perempatan lampu merah, hingga tempat umum seperti pasar. Anak-anak ini, yang seharusnya duduk di bangku sekolah atau bermain di lingkungan yang aman, justru harus berjibaku dengan kerasnya kehidupan jalanan. Mereka mengamen dengan suara lirih, mengemis dengan tangan mungil yang menengadah, dan dalam beberapa kasus, bahkan menjadi tulang punggung ekonomi keluarga.
Fenomena ini bukan sekadar pemandangan menyedihkan, tapi tamparan keras terhadap klaim pemerintah daerah yang ingin menjadikan Lampung Utara sebagai daerah ramah anak. Bagaimana mungkin sebuah kabupaten bisa disebut layak anak jika masih banyak anak yang hidup tanpa perlindungan, pendidikan, dan perhatian layak?
Dari pantauan dilapangan, sebagian besar anak-anak jalanan tersebut berasal dari keluarga kurang mampu, bahkan beberapa di antaranya mengalami putus sekolah. Ironisnya, program-program perlindungan anak yang selama ini digaungkan seolah belum menyentuh akar persoalan. Kebanyakan masih bersifat seremonial, tanpa intervensi konkret dan berkelanjutan terhadap anak-anak yang paling rentan.
Tentu, pemerintah tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Masalah sosial seperti ini bersifat kompleks, berkaitan erat dengan kemiskinan, pendidikan yang rendah, hingga minimnya kesadaran keluarga akan hak-hak anak. Namun, di sinilah peran pemerintah seharusnya hadir secara nyata. Tidak cukup dengan membentuk forum atau memasang spanduk bertuliskan “Kabupaten Layak Anak”, tanpa kebijakan tegas untuk menertibkan eksploitasi anak di jalanan.
Penanganan anak jalanan dan pengemis cilik seharusnya menjadi prioritas utama dalam peta jalan menuju KLA. Diperlukan sinergi antarinstansi, mulai dari Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, hingga kepolisian dan organisasi masyarakat. Anak-anak yang terjaring di jalan perlu diberikan pendampingan psikososial, difasilitasi kembali ke sekolah, dan keluarganya diberikan akses bantuan ekonomi yang tepat.
Di sisi lain, masyarakat juga harus diedukasi agar tidak memberikan uang kepada anak-anak yang mengemis atau mengamen di jalan. Bantuan seperti itu, meski berniat baik, justru memperkuat siklus eksploitasi. Solusinya adalah partisipasi aktif masyarakat dalam program rehabilitasi dan perlindungan anak.
Lampung Utara memang memiliki niat baik, tapi niat saja tidak cukup. Predikat KLA bukan sekadar penghargaan simbolik, tapi cermin dari kondisi nyata anak-anak di wilayah tersebut. Selama masih banyak anak-anak yang dipaksa mencari nafkah di jalan, maka cita-cita menjadi Kabupaten Layak Anak hanyalah ilusi di tengah kenyataan yang getir.
Penulis : Lutfansyah



















