
Vatikan, Warta9.com – Paus Leo XIV resmi dilantik dan dinobatkan menjadi Paus ke-267 yang memimpin Gereja Katolik dunia dan kepala negara Vatikan, Minggu (18/5/2025).
Penobatan Paus yang memiliki nama lahir Robert Francis Prevost dari Amerika Serikat itu ditandai dengan dipasangkan cincin Fisherman’s Ring di Basilika Santo Petrus, Vatikan.
Tampak pula Paus dipakaikan Mahkota Mitra, Pallium atau syal khusus dari wol domba, hingga cincin Fisherman’s Ring saat penobatan yang menandakan Kepausan Leo XIV.
Para Kardinal kemudian datang menyalami Paus Leo XIV sebagai tanda penghormatan dan kepatuhan terhadap sang Pemimpin Gereja Katolik.
Paus Leo XIV disebut sebagai Paus yang bakal meneruskan misi suci Paus Fransiskus terutama dalam liberalisasi dan pembelaan terhadap isu-isu terkait perdamaian, hak kaum marjinal, hingga perubahan iklim.
Paus Leo XIV menyerukan persatuan, bersumpah untuk melestarikan warisan Gereja Katolik dan tidak memerintah seperti “seorang otokrat”.
Dilansir Reuters, Minggu (18/5/2025).
Lahir di Chicago
Paus Leo lahir di Chicago. Paus berusia 69 tahun ini menghabiskan bertahun-tahun sebagai misionaris di Peru dan juga memiliki kewarganegaraan Peru.
Massa meneriakkan “Viva il Papa” (Hidup Paus) dan “Papa Leone”, namanya dalam bahasa Italia, saat mobil pausnya yang khas dan beratap terbuka berputar-putar di sekitar Lapangan Santo Petrus.
Dalam khotbahnya, yang dibacakan dalam bahasa Italia yang fasih, Leo mengatakan, sebagai pemimpin 1,4 miliar umat Katolik Roma di dunia. Ia tidak akan gentar menghadapi tantangan modern, bahwa setidaknya dalam isu-isu sosial seperti memerangi kemiskinan dan melindungi lingkungan, ia akan meneruskan warisan Paus Fransiskus.
Diketahui, Kepausan Fransiskus meninggalkan Gereja yang terpecah, dengan kaum konservatif menuduhnya menabur kebingungan, khususnya dengan pernyataan spontannya tentang isu-isu moralitas seksual seperti pernikahan sesama jenis.
Leo mengatakan ia menjalankan misinya “dengan takut dan gentar”. Leo menggunakan kata “persatuan” atau “bersatu” sebanyak tujuh kali dan kata “harmoni” sebanyak empat kali.
“Ini bukan masalah menangkap orang lain dengan paksa, dengan propaganda agama atau dengan cara kekuasaan. Sebaliknya, ini selalu dan hanya masalah mencintai, seperti yang Yesus lakukan,” katanya, yang tampaknya merujuk pada perang kata-kata antara umat Katolik yang mendefinisikan diri mereka sebagai konservatif atau progresif. (W9-jm)