Perlindungan Hukum oleh Kepolisian Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual: Studi Kasus Polres Lampung Utara*

Foto ilustrasi Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron

Pendahuluan
Kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan serius yang terus meningkat di Indonesia, termasuk di Kabupaten Lampung Utara. Data dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Lampung Utara menunjukkan peningkatan kasus dari tahun ke tahun, dengan 82 kasus tercatat pada 2023. Anak sebagai korban membutuhkan perlindungan khusus karena dampak psikologi dan sosisal yang berat.

Penelitian ini menganalisis bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh kepolisian serta factor pendukung dan penghambat dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Bacaan Lainnya

Perlindungan Hukum oleh Kepolisian:
Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Kepolisian wajib memberikan perlindungan khusus kepada anak korban kekerasan seksual. Di Polres Lampung Utara, langkah-langkah perlindungan meliputi:

Perlindungan Sementara: Korban diberikan tempat aman selama maksimal 7 hari setelah laporan diterima.

Pendampingan: Korban didampingi oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) dan Polisi Wanita (Polwan) untuk memastikan kenyamanan selama proses investigasi. Kerahasiaan Identitas Identitas korban dijaga untuk menghindari stigma sosial.

Pemulihan Psikologis: Korban mendapat pendampingan psikologis dan motivasi untuk memulihkan trauma.

Sanksi bagi Pelaku: Pelaku yang masih anak-anak diarahkan ke program pelatihan dan rehabilitasi. Selain tindakan represif, Kepolisian juga melakukan upaya preventif seperti sosialisasi di sekolah-sekolah dan seminar tentang kekerasan seksual untuk meningkatkan kesadaran masyarakat faktor pendukung

Beberapa faktor yang mendukung efektivitas perlindungan hukum antara lain:

Kolaborasi nultidisiplin Kepolisian bekerja sama dengan psikolog forensik, dokter, dan LSM untuk investigasi dan pemulihan korban.

Dasar Hukum Kuat: Adanya payung hukum seperti UU No. 35 Tahun 2014 memudahkan penegakan tindakan perlindungan.

Peran Psikolog Forensik: Psikolog forensik membantu mengungkap motivasi pelaku dan memulihkan korban melalui teknik seperti wawancara kognitif dan analisis perilaku.

Tantangan dalam Penegakan Hukum
Meskipun upaya perlindungan telah dilakukan, beberapa hambatan masih ditemui:

Kendala dari korban banyak korban enggan melapor karena rasa malu, tekanan keluarga, atau ancaman dari pelaku. Beberapa juga menolak tinggal di rumah aman karena merasa terbatas ruang geraknya.

Keterbatasan Sumber Daya: Polres Lampung Utara kekurangan fasilitas seperti rumah aman yang memadai dan anggaran untuk bantuan medis korban.

Masalah Bukti: Proses pembuktian sering terkendala kurangnya saksi atau ketidakmampuan korban mengungkapkan kejadian secara detail.

Oknum Aparat: Ada oknum Kepolisian yang melakukan penyimpangan, seperti meminta imbalan untuk memberikan perlindungan.

Rekomendasi
Untuk meningkatkan perlindungan hukum, penelitian ini merekomendasikan:

Peningkatan Fasilitas Pemerintah. Perlu menyediakan rumah aman dan anggaran khusus untuk penanganan korban.

Sosialisasi Intensif: Kampanye publik tentang pentingnya melapor dan hak-hak korban harus digencarkan.
Pelatihan Aparat: Penyidik dan polwan perlu dilatih secara berkala untuk menangani kasus dengan sensitivitas tinggi.

Revisi Sanksi Hukum: Perlunya pertimbangan hukuman yang lebih berat, seperti pidana seumur hidup, untuk menciptakan efek jera. Penangana kasus anak juga melibatkan Polisi Wanita, khususnya untuk korban perempuan. Hal ini bertujuan menciptakan suasana aman dan nyaman bagi korban dalam proses investigasi.

Pendekatan empatik dan tidak formal oleh formal oleh Polwan memudahkan anak untuk menyampaikan kronologi peristiwa dan dialaminya identitas korban dijaga kerahasiaanya dan pemulihan psikis dilakukan melalui pemberian semangat serta motivasi agar anak tidak merasa dikucilkan.

Kepolisian juga menerapkan pendekatan keadilan restorative yaitu suatu pendekatan hukum yang melibatkan korban pelaku dan masyarakat dalam penyelesaian kasus dengan focus pada pemulihan dan keadilan yang seimbang. Teori gabungan dari retributuf dan preventif menjadi dasar penindaan dengan harapan memberikan efek jera bagi pelaku dan pencegahan bagi masyarakat luas.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya, terdapat berbagai hambatan baik dari sisi internal maupun eksternal.

Hambatan eksternal meliputi, minimnya laporan dari korban atau keluarganya karena rasa malu atau anggapan bahwa kekerasan seksual merupakan aib keluarga. Korban sering kali enggan tinggal di rumah aman karena merasa ruang geraknya terbatas, diawasi secara ketat, dan tidak dapat berinteraksi bebas dengan keluarga.

Hambatan internal mencakup, kurangnya fasilitas rumah aman yang dikelola pemerintah daerah, keterbatasan sumber daya manusia yang terlatih menangani kasus anak, serta anggaran operasional yang belum memadai untuk penyediaan layanan medis dan psikologis. Selain itu, masih ditemukan oknum aparat penegak hukum yang melakukan penyimpangan, seperti pungutan liar kepada korban demi memperoleh perlindungan.

Sebagai bentuk dukungan profesional, psikolog forensik turut berperan dalam investigasi kasus kekerasan seksual terhadap anak. Psikolog melakukan wawancara kognitif, menggunakan teknik seperti hypnosis (dengan batasan tertentu), hingga analisis profil pelaku (criminal profiling) untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat dan membantu pemulihan psikologis korban. Peran penting untuk meyimbangkan proses hukum.

Kesimpulan
Perlindungan hukum oleh Kepolisian terhadap anak korban kekerasan seksual di Polres Lampung Utara telah dijalankan melalui pendekatan preventif dan represif. Namun, tantangan seperti keterbatasan fasilitas, hambatan budaya, dan masalah sumber daya manusia masih perlu diatasi.

Kolaborasi antara kepolisian, masyarakat, dan instansi terkait menjadi kunci untuk memastikan perlindungan yang holistik dan berkeadilan bagi korban. Dengan memperkuat sistem yang ada, diharapkan angka kekerasan seksual terhadap anak dapat ditekan dan korban mendapat pemulihan yang optimal.
(*Nama: Muhammad Rahid Wibisono, Mahasiswa FH Unila, NPM: 2352011136
Erico Pratama Pardingota Sagala, Mahasiswa FH Unila, NPM: 2312011095
Email: [email protected]
[email protected])

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses