Bandarlampung, Warta9.com – Putusan Majelis Tunggal (PMT) yang mengabulkan permohonan Pegi Setiawan pada perkara Pra-peradilan (Prapid) Nomor 10/Pid.Pra/2024 di Pengadilan Negeri Bandung merupakan langkah progresif yang dilakukan oleh Hakim Pengadilan.
Hakim tunggal perkara Prapid itu menjatuhkan putusan bahwa tindakan dari Penyidik Polda Jawa Barat yang menetapkan Pegi Setiawan sebagai tersangka perbuatan pidana pembunuhan terhadap Vina dan Eki dinyatakan tidak sah, hakim menyatakan Surat Penetapan (SP) tersangka Pegi Setiawan batal demi hukum.
Hal ini diyatakan Muhammad Yunus Advokat dan juga Mahasiswa Magister Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai (USBRJ) Bandarlampung, bahwa perkara pembunuhan sepasang remaja (Vina dan Eki) sebenarnya terjadi sudah cukup lama, yakni pada akhir agustus 2016 dengan locus delicti di Cirebon.
Perkara ini kembali menjadi perbincangan publik ketika peristiwa pembunuhan tersebut diangkat menjadi sebuah film dengan judul “Vina: Sebelum 7 Hari” yang disutradarai oleh Anggy Umbara.
“Dilatari berbagai kontroversi dari motif dan pelaku kasus pembunuhan tersebut, yang terjadi: Vina dan Eky tewas pada suatu dalam peristiwa “pengeroyokan” oleh “genk motor” di jalan perjuangan (depan SMPN 11) Kali Tanjung, Cirebon,” sebut Muhammad Yunus kepada awak media ini melalui pesan rillis, Senin (29/07/2024).
Kata dia, penangan perkara Vina dan Eky kala itu terdapat delapan orang tersangka yang telah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan. Selain itu, terdapat juga 3 orang terduga pelaku lainnya yang telah ditetapkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh Penyidik Polda Jawa Barat, yaitu: Pegi alias Perong, Andi dan Dani.
Belakangan terungkap, nama pelaku Andi dan Dani telah hilang dari DPO Polda Jawa Barat, padahal nama tersebut tercantum dalam putusan pidana perkara pembunuhan Vina dan Eki. Kemudian, ketika perkara ini kembali mencuat, Polda Jawa Barat berhasil menangkap Pegi Setiawan yang diduga sebagai Pegi Perong.
“Atas penangkapan itu, Pegi Setiawan melalui kuasa hukumnya melakukan upaya perlawanan berupa Pra-Peradilan, yang berujung pada pembatalan status tersangka Pegi Setiawan,” ungkap dia.
Terungkapnya dipublik sejak mula penanganan perkara ini dipenuhi silang-sengkarut, mulai dari proses penyidikan yang mengunakan kekerasan, hilangnya tersangka dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), pencabutan pengakuan tersangka di pengadilan, hingga adanya dugaan keterangan palsu dari saksi. Bila tidak dilakukan upaya serius dari pihak penyidik Polda Jawa Barat untuk mengungkap perkara ini secara jernih serta bersandar pada hukum.
“Maka akan semakin menambah runtuh kepercayaan publik terhadap proses penegakkan hukum (pidana) di negeri yang kita cintai ini. Dalam persfektif sosiologi hukum, runtuh kepercayaan publik terhadap proses penegakkan hukum, secara tidak langsung akan semakin menumbuhkan sikap “main hakim sendiri” di masyarakat,” jelasnya.
Muhammad Yunus menjelaskan, hukum dan kedaulatan rakyat merupakan sandaran utama bagi kita dalam menjalani perilaku hidup bernegara, rakyat yang berdaulat, senyatanya bukan hanya terwujud dalam praktik politik praktis yang bernama pemilihan umum.
Secara ontologis, rakyat yang berdaulat yang diamanatkan oleh konstitusi kita, merupakan upaya kita bersama untuk menjamin adanya kesetaraan hak-hak warga Negara dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam bidang hukum.
Secara jelas Konstitusi kita (UUD 1945) menjamin kesetaraan hukum dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan: Setiap warga Negara bersamaan kedudukannya di dlam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerinthan itu tidak kecualinya.
“Dalam konteks hukum pidana, pemenuhan hak warga negara yang “bermasalah” dengan hukum secara formil diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP/UU No.8 Tahun 1981). Secara umum, syarat penetapan tersangka harus berdasarkan minimal 2 alat bukti (Pasal 184 KUHAP) yang “didapat” secara sah.
“Keabsahan suatu alat bukti, merupakan “buah” dari upaya penyidik dalam mengungkap suatu peristiwa pidana secara profesional dan bersandar pada prosedur hukum. Adanya indikasi keterangan saksi yang “diarahkan” oleh penyidik dalam perkara pembunuhan Vina dan Eki, merupakan tindakan unprofessional dan melawan hukum. Karena pada hakikatnya, kualifikasi saksi adalah mereka yang melihat, mendengar, atau merasakan secara langsung suatu peristiwa pidana,” urai Yunus.
Selain keterampilan dalam mengungkap suatu peristiwa pidana, pemahaman tentang hak-hak warga negara (sebagai wujud kedaulatan rakyat) senyatanya merupakan syarat substantif yang meski dimiliki oleh penegak hukum; baik itu kepolisian (penyidik), kejaksaan, advokat dan hakim serta penegak hukum lainnya.
“Prinsip-prinsip penegakkan hukum kedaulatan hukum pada hakikatnya paralel dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, karena tujuan pembentukan hukum secara umum adalah untuk mengatur kehidupan manusia warga negara dengan segala hak dan kewajiban yang melingkupinya,” paparnya.
Muhammad Yunus menyebutkan, prinsip penegakkan hukum pidana dalam penegakan hukum pidana di Indonesia, guna menjamin hak-hak warga negara (kedaulatan rakyat), setidaknya ada 7 prinsip (asas hukum) yang meski dijadikan panduan bagi penegak hukum yang sejalan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dan Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Adapun pertama; persamaan kedudukan di depan hukum tanpa adanya perlakukan yang diskriminatif (equal treatment for everyone before the lawa without discriminations). Ciri utama dari prinsip ini adalah adanya perlindungan yang nyata terhadap hak asasi manusia. Tindakan illegal berupa perlakukan yang berbeda terhadap warga yang sedang bermasalah dengan hukum, merupakan pengabaian yang nyata terhadap prinsip ini. Penegak hukum wajib melakukan proses penegakkan hukum tanpa membedakan “kasta sosial” dari warga negara.
Kedua, penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dapat dilakukan berdasarkan surat perintah dari pejabat yang berwenang dan dilakukan menurut hukum. Berdasarkan hasil temuan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), terdapat berbagai kejanggalan yang dilakukan oleh penyidik dalam mengungkap perkara pembunuhan Vina dan Eky. Kejanggalan tersebut merupakan tindakan penyidik yang dilakukan tidak sesuai menurut hukum (KUHAP).
Ketiga, asas praduga tidak bersalah. Setiap orang yang diduga/dicurigai, ditahan, dan diperiksa dimuka pengadilan, selayaknya dianggap tidak bersalah sebelum diuji secara utuh dan proporsional setiap alat bukti yang diajukan ke pengadilan. Setiap tersangka diberikan keleluasaan untuk membela diri dan mengajukan alat bukti untuk menolak bukti dari penyidik maupun untuk meringankan potensi hukumannya.
Keempat, pemberian kompensasi atau rehabilitasi kepada orang yang telah ditangkap, ditahan, atau diproses secara salah, atau terdapat kesalahan pada proses penegakkan hukumnya; dan sebaliknya mengharuskan aparat penegak hukum berhati-hati ketika menjalankan tugasnya (a person who arrested, detained, prosecuted or tried without a basis in law and/or because of an error in person/an error in law shall be entitled to obtain compensation and rehabilitation from the level of investigation, and law enforcement officials who deliberately or becase of their negligence have caused the violation of said principle of law shall be liable to prosecution, penalty and/or administrative discipline). Salah satu kritik terhadap KUHAP, adalah tidak diaturnya secara presisi mengenai sanksi bagi aparat penegak hukum yang menyalahgunakan kewenangan atau kekuasaannya, sehingga secara tidak langsung membuat penyidik kurang hati-hati dalam menjalankan tugasnya.
Kelima, peradilan dilakukan secara sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. Asas ini merupakan salah satu asas pokok dalam penyelenggaraan peradilan. Jika asas ini tidak ditegakkan maka tentu akan berakibat pada terhambatnya akses masyarakat terhadap keadilan. Proses yang rumit akan menyulitkan masyarakat pencari keadilan dalam berperkara. Waktu yang lama dalam berperkara akan meniadakan kepastian hukum dalam suatu perkara, padahal sering kali suatu persoalan mesti diselesaikan dengan segera agar hak-hak masyarakat tidak tercederai.
Keenam, hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum. Didalam KUHAP memang diatur tentang pendampingan tersangka oleh penasihat hukum (advokat) dalam proses penyidikan.
Namun, peran advokat masih sangat pasif dalam proses penyidikan. Advokat tidak dapat secara langsung melakukan keberatan terhadap penyidik terkait hal-hal yang menurutnya bertentangan dengan prosesdure pemeriksaan. Minimnya ruang “bantuan hukum” sejak mula adanya proses penyidikan perkara Vina dan Eky, secara langsung berpengaruh terhadap rendahnya mutu penyidikan terhadap perkara itu.
Ketujuh, aparat penegak hukum wajib menginformasikan peristiwa hukum dan pasal apa yang dituduhkan kepada tersangka/terdakwa. Prinsip ini lebih dikenal sebagai prinsip Miranda Law, yakni sebelum penyidik mulai melakukan pemeriksaan terhadap seorang tersangka maka wajib diberitahukan hak-haknya, bahwa yang bersangkutan berhak mendapatkan bantuan hukum dan didampingi oleh penasihat hukum dalam pemeriksaannya.
Akhirnya, muramnya wajah penegakkan hukum pidana kita akibat indikasi penegak hukum yang telah bertindak serampangan dalam mengungkap perkara pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon, semestinya tidak perlu terjadi bila setiap penegak hukum mampu memahami dan mewujudkan prinsip-prinsip penegakan hukum di Indonesia. Banyak faktor yang membuat penegak hukum kita lalai.
“Entah itu factor minimnya integritas maupun pola rekrutmen yang penuh masalah, baik rekrutmen kepolisian, kejaksaan, kehakiman, maupun mudahnya persyaratan untuk menjadi advokat. Proses hukum terhadap kasus Pegi Setiawan, hendaknya benar-benar menjadi cermin bagi wajah penegakkan hukum kita. Cukup sudah dan segera hentikan segara tindakan “bermain api” yang dilakukan oleh penegak hukum kita dan seluruh pihak yang bermasalah dengan hukum,” tegas Advokat ini. (Wanto/red)