
Oleh: Resi Is Junanda
ADA yang ganjil, bahkan terasa memalukan. Ketika program negara yang sejatinya lahir untuk meningkatkan mutu guru justru disulap jadi ladang pungli. Kasus dugaan pungutan liar dalam pelaksanaan Pendidikan Profesi Guru (PPG) ini terjadi di salah satu daerah di Lampung. Ini adalah potret telanjang bagaimana sebuah program mulia berubah menjadi bancakan.
Program PPG, khususnya bagi guru Pendidikan Agama Islam (PAI), sudah jelas dibiayai negara. Regulasi ada, sumber anggaran jelas dari APBN Kementerian Agama, APBD Pemda, hingga dukungan LPDP Kemenkeu. Semua diatur dalam peraturan resmi. Singkatnya, PPG itu gratis. Titik.
Namun, fakta di lapangan berbicara lain. Guru yang seharusnya dihormati dan difasilitasi, justru dipalak hingga Rp8 juta, bahkan ada yang mengaku diminta Rp18 juta. Dengan 108 peserta, pungutan ini mencapai ratusan juta rupiah. Bukankah ini ironi? Bukankah ini pengkhianatan terhadap guru yang seharusnya diberdayakan, bukan diperas?
Membunuh Marwah Guru
Apa jadinya negeri ini bila guru dipaksa membayar mahal hanya untuk memperoleh sertifikasi. Di atas pundak mereka, anak-anak bangsa menggantungkan masa depan. Tapi di balik itu, ada oknum yang justru menjadikan sertifikasi sebagai komoditas dagangan. Guru yang mestinya berdiri tegak dengan wibawa, malah direndahkan martabatnya dengan cara-cara kotor seperti ini.
Kita sering dengar jargon “Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa”. Tapi kini, mereka malah jadi “sapi perah tanpa perlindungan hukum.” Bayangkan, betapa pedihnya hati seorang guru yang gajinya pas-pasan harus menyetor belasan juta hanya demi selembar sertifikat.
Program Negara Dibajak
Jika benar dugaan pungli ini, artinya ada dua kejahatan sekaligus. Pertama, merampok hak guru. Kedua, merampok uang rakyat, karena negara sudah menyiapkan anggaran untuk itu. Ini bukan sekadar pelanggaran etika, tapi bentuk persekongkolan merampas kebijakan publik demi keuntungan pribadi.
Dan yang lebih menyakitkan, oknum terkait berdalih “sesuai aturan.” Aturan dari mana? Regulasi yang mana? Lucu, bahkan absurd, ketika seseorang yang dituding pungli bicara soal legalitas tapi tak bisa menunjukkan dasar hukum. Yang ada justru pengakuan samar-samar bahwa peserta menandatangani “surat pernyataan mandiri”, dokumen yang sampai hari ini pun tak bisa ditunjukkan.
Bahkan, oknum itu sempat meminta agar informasi ini tidak dipublikasikan. “Tolong jangan dipublikasikan, saya hanya membantu mereka agar bisa mendapatkan sertifikasi,” katanya dengan enteng.
Pemerintah Jangan Tutup Mata
Kementerian Agama dan aparat penegak hukum tak boleh tinggal diam. Jika kasus ini dibiarkan, maka preseden buruk akan tercipta. Guru-guru di daerah lain bisa bernasib sama. Program strategis pemerintah akan terus dipermainkan oleh segelintir orang yang hanya memikirkan isi kantong.
Kita bicara soal guru, bukan profesi biasa. Guru adalah tiang penyangga peradaban. Jika mereka diperlakukan sebagai obyek pemerasan, maka yang runtuh bukan hanya marwah guru, tapi juga wibawa negara di hadapan rakyatnya sendiri.
Saatnya Bongkar Sampai Tuntas
Kasus ini harus dibongkar tuntas. Tak ada kompromi. Jika benar ada pungutan liar, aparat harus menyeret pelakunya ke meja hijau. Tidak peduli siapapun orangnya, tidak peduli apapun jabatannya.
Karena pada akhirnya, pendidikan yang sehat hanya bisa lahir dari sistem yang bersih. Dan sistem yang bersih hanya bisa terwujud jika segala bentuk pungli, pemalakan, dan pembajakan program negara diberangus tanpa ampun.
Kalau tidak, kita sedang mendidik generasi dengan kebohongan, bukan dengan keteladanan. Dan itu, lebih berbahaya dari sekedar pungutan liar. Itu adalah pengkhianatan terhadap masa depan bangsa.


















